, , , , , ,

Sintaksis

Language is very difficult to put into word, demikianlah ungkapan hati Voltaire ketika mendefinisikan bahasa. Serumit cara untuk menerjemahkan hidup dan kehidupan manusia, meskipun mutlak terdesain sejak awal mula tercipta. Setidaknya, usaha dalam menerjemahkan itu melibatkan proses kreatif sekaligus menyenangkan, sembari melalui berbagai proses tingkat demi tingkat kejadian, adalah niscaya. Di sini, gambaran umum kehidupan mengantarkan kita pada pelibatan interaksi antar manusia, dari skala makro sampai dengan mikro. Contoh interaksi dalam skala makro seperti hiruk pikuk dunia pendidikan, bisnis, dan budaya, sedangkan skala mikro seperti halnya interaksi penjual dan pembeli di pasar, mall, ataupun pembicaraan hangat sebuah pasangan muda-mudi di taman, menikmati kehangatan pasca-kesakralan ijab kabul.

Tentunya, baik interaksi berskala makro maupun mikro antar manusia, pastilah melibatkan percakapan sebagai alat tukar ide maupun konsep. Menariknya, ketika percakapan berlangsung demi mencapai kesepakatan bersama, serangkaian proses telah dilalui dan harus diperhatikan secara seksama dari kedua belah pihak. Proses menuju kesepakatan inilah yang menjadi salah satu kajian psikolinguistik, memahami bagaimana hubungan antara bahasa dan perilaku sekaligus akal budi manusia. Lebih jauh, terdapat beberapa macam unit terikat tatkala sebuah proses dalam mencapai kesepakatan bersama dijalankan. Unit tersebut sering dinamakan dengan sistem bahasa, yang terdiri dari beberapa subunit seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dalam kali ini, akan dibahas seputar sintaksis secara ensiklopedis sebagai salah satu unit sistem bahasa, terkhusus pada ranah pembentukan sebuah kalimat.

Secara etimologi, dari bahasa Yunani, sintaksis terdiri dari kata sun bermakna “dengan” dan tattein bermakna “menempatkan.” Secara istilah, sintaksis berarti pengaturan dan hubungan kata dengan kata atau dengan satuan lain yang lebih besar, bisa juga bermakna sebagai cabang linguistik tentang susunan kalimat dan bagiannya. Ada pula yang menyatakan bahwa sintaksis adala stuktur internal dan atau bagian dari sistem tata berkaitan dengan frasa, klausa dan kalimat (Gani 2019).

Melalui definisi tersebut, maka ruang lingkup kajian di dalam sintaksis meliputi frasa, klausa dan kalimat. Frasa diartikan sebagai gabungan dua kata ataupun lebih yang bersifat nonpredikatif (tidak berkaitan dengan predikat), seperti gunung tinggi, pantang mundur, dan sakit gigi. Sedangkan klausa diartikan sebagai satuan tata bahasa yang mengandung salah satu unsur predikat dan berpotensi untuk menjadi kalimat, seperti Budi harus mempertahankan prestasi akademik pada tiap semesternya, agar Ia  berhak mendapatkan beasiswa, klausa I : Budi harus mempertahankan prestasi akademik pada tiap semester, klausa II : Budi berhak mendapat beasiswa. Terakhir, kalimat diartikan sebagai satuan sistem bahasa yang relatif dapat berdiri sendiri, mempunyai intonasi final sebagai penegasan, dan  baik secara aktual maupun potensial terdiri dari beberapa kalusa, seperti Anton mendapat tugas dari ibu untuk menyapu lantai, mencuci piring dan pakaian, serta membersihkan halaman rumah (Heryani 2018).


Setiap jenis pengetahuan yang ada pada manusia pastilah merujuk pada proses pemerolehan kalimat. Begitu pula kajian terhadap sintaksis, hal ini demi menghindari ambiguitas pemkanaan pengetahuan. Setidaknya terdapat dua sudut pandang tentang penerapan akan informasi sintaksis, semantik, dan pragmatis dalam kalimat. Pandangan pertama menyatakan bahwa analisis sintaksis kalimat dilakukan secara independen, dari dan tidak dipengaruhi oleh pengetahuan semantik dan pragmatis. Sedangkan pandangan kedua lebih interaktif, bahwasanya informasi semantik dapat memandu analisis terhadap sintaksis. Namun, dalam perkembangannya, penggabungan antar dua sudut pandangan mulai dilakukan dimana penguraian sintaksis dapat dilakukan secara independen untuk menghasilkan analisis terhadap sintaksis, dan dengan mempertimbangkan informasi dari semantik untuk menilai apakah valid dan dapat diterima oleh akal (Sternberg, Sternberg, dan Mio 2012).


 

1.      Struktur Bahasa

a.       Proses Bottom-Up

Dalam pemrosesan Bottom-Up, stimulus yang diterima akan dianalisis lalu digabungkan untuk membentuk suatu pola persepsi yang terpadu. Dengan menganalisis struktur hierarki bahasa ucapan (lisan) sebagai sekumpulan unit penyusun, terdiri dari fenom sebagai pembentuk morfem, dan kombinasi morfem untuk membentuk kata, merupakan pendekatan dalam Bottom-Up. Kata-kata dan urutan tata bahasanya kemudian menjadi unit bagi sebuah kalimat, dan kalimat sebagai unit untuk membentuk wacana. Akan tetapi, setiap langkah dalam urutan Bottom-Up ini, termasuk pola yang terjadi, pemaknaan terhadap stimulus juga dipengaruhi oleh pemrosesan secara  Top-Down.

b.      Proses Top-Down

Dalam pemrosesan Top-Down, stimulus direspon dan disesuaikan dengan pemaknaan yang telah ada sebelumnya (memori otak). Untuk membedakan kapan stimulus berakhir dan dimuali kembali, para ahli bahasa menggunakan beberapa isyarat untuk mengetahuinya. Misalnya, ketika kita memperhatikan fenom tertentu, maka tidak mungkin terjadi dalam kata yang sama, dapat diprediksikan jika suatu fenom ada secara berurutan, maka hal tersebut menunjukan posisi awa dan atau akhir dari kata yang berdekatan (Passer dan Smith 2009).

c.       Pragmatik: Konteks Sosial Bahasa

Gambar tersebut menjelaskan kepada kita, bahwasannya untuk memahami bahasa dan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain dibutuhkan dari sekedar memiliki kosakata dan mengatur katakata secara gramatikal. Dalam hal ini, pragmatik mendefinisikan dengan pengetahuan tentang aspek praktis penggunaan bahasa, tidak hanya memahami apa yang sebenarnya dikatakan orang lain, tetapi memastikan orang lain mengerti akan maksud dari yang kita harapkan. Disaming itu, pragmatik juga bergantung pada aspek lain dari konteks sosial terjadinya sebuah komunikasi, seperti penggunaan bahasa formal dalam wawanca kerja dan penulisan sebuah artikel, namun di lain waktu menggunakan bahasa keseharian ketika menulis dan membalas pesan dari teman sejawat (Passer dan Smith 2009).

d.      Fungsi Bahasa, Otak, dan Pengaruh dari Perbedaan Jenis Kelamin

Pada gambar di atas, fungsi bahasa tersebar di banyak area otak. Area Broca, yang terletak di lobus frontal belahan kiri, paling sentral terlibat dalam produksi dan artikulasi kata (pemindaian otak kanan bawah). Area Wernicke, di belakang lobus temporal, lebih terpusat dalam keterlibatan pemahaman bicara (pemindaian kiri atas). Dengan demikian, orang dengan kerusakan di satu atau kedua area tersebut biasanya menderita afasia, gangguan pemahaman berbicara dan atau produksi yang bersifat permanen atau sementara. Area Visual korteks juga terlibat dalam mengenali kata-kata.

Pada gambar kedua ini, seorang pria menunjukkan aktivasi belahan kiri yang lebih besar (area merah) selama berbahasa, sedangkan aktivasi otak wanita terjadi di belahan kiri dan kanan. Sedangkan aktivasi maksimum terjadi di wilayah yang sesuai dengan wilayah Broca dan wilayah Wernicke. Sistem saraf yang terlibat dalam beberapa aspek bahasa telah diatur sedemikian rupa antara pria dan wanita. Tetapi temuan ini bersifat replikasi terhadap beberapa studi penelitian, sehingga diperlukan tindak lanjut terhadap penelian berikutnya untuk menjelaskan inkonsistensi ini terjadi (Passer dan Smith 2009).

2.      Pemerolehan Bahasa Pertama

Banyak pakar bahasa mempercayai bahwa manusia terlahir sebagai ahli bahasa, mewarisi secara biologis untuk mengenali dan akhirnya menhasilkan suara dan struktur bahasa apa saja yang mereka gunakan. Penguasaan bahasa sebagai salah satu hal menarik dalam perkembangan kognitif mannusia dipengaruhi oleh biologi (alam) dan lingkungan (pengasuhan), diantara faktornya seperti

a.       Akar Biologis

Beberapa fakta menunjukkan bahwa bayi kecil, meskipun kemampuan berpikirnya terbatas, namun sudah mulai menguasai bahasa sejak dini tanpa instruksi terlebih dahulu. Selain itu, terlepas dari perbedaan mereka pada tingkat fonem, semua bahasa dewasa di seluruh dunia mempunyai karakteristik struktural yang mendasari secara umum. Penguasaan bahasa dengan itu menunjukkan fakta bahwa proses biologis berpengaruh pada proses lingkungan belajar.

b.      Proses Pembelajaran Sosial

Selain pengaruh biologis, pembelajaran sosial pun turut mempengaruhi dalam perolehan bahasa. Sejak awal, orang tua menarik perhatian anak mereka dengan berbicara melalui intonasi nada bervariasi sesuai kebutuhan. Orang tua juga mengajari berbagai kata dengan menunjukkan objek dan sekaligus menamainya, sehingga peran orang tua sangatlah signifikan dalam perolehan bahasa anak sejak dini.

c.       Waktu Perkembangan dan Periode Sensitif

Dikarenakan faktor biologis dan pembelajaran sosial berpengaruh dalam perolehan bahasa anak sejak dini, akuisi bahasa berlangsung dalam rentang waktu dan periode tertentu secara umum bagi seluruh budaya. Seperti tabel berikut yang mencerminkan perkembangan anak dari tangisan reflektif saat lahir melalui tahapan menderu-deru, mengoceh, dan mengucapkan kata-kata (Passer dan Smith 2009).



 

Sumber Referensi

Gani, Saida. 2019. “Kajian Teoritis Struktur Internal Bahasa (Fonologi, Morfologi, Sintaksis, Dan Semantik).” A Jamiy: Jurnal Bahasa dan Sastra Arab 7, no. 1: 1–20.

Heryani, H. 2018. “Konstruksi Kalimat Dasar Bahasa Indonesia Murid Kelas I SD 157 Pabeheang Kabupaten Sinjai,” April. http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/9927.

Passer, Michael W., dan Ronald Edward Smith. 2009. Psychology: the science of mind and behavior. 4th ed. Boston: McGraw-Hill Higher Education.

Sternberg, Robert J., Karin Sternberg, dan Jeffery Scott Mio. 2012. Cognitive psychology. 6th ed. Belmont, CA: Wadsworth/Cengage Learning.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan