Menyoal IMM
(Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), akan senantiasa memantik rindu dengan slogan anggun
dalam moral, unggul dalam intelektual. Bagaimana mungkin beberapa term ini
terpadu dalam slogan, jika tidak lain adalah ruh perjuangan yang senantiasa
menghiasi sekaligus menjiwai para kader di setiap lini kehidupan. Apapun itu
berupa wujud kebahagiaan tatkala mampu mengaktualisasikan makna anggun,
moral, unggul dan intelektual. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri jika
terdapat keragaman versi, corak dan dinamika kader di tubuh IMM, yang mengaharuskannya
untuk diapresiasi secara penuh –sebagai bentuk kearifan– untuk membedakan jati
diri dengan organisasi mahasiswa pada umumnya.
Kader, dalam
terminologi IMM biasa disebut immawan untuk kader berjenis laki-laki, dan immawati
untuk kader berjenis perempuan. Masing-masing sebutan mempunyai nuansa romantis
nan klopis, jika immawan dan immawati melanjutkan perkaderannya ke
jenjang perkaderan secara biologis, married. Kira-kira bergitulah
gambaran ber-IMM ala kader beraliran kiri, kanan, tengah, depan dan belakang,
semua sisi terjangkiti virus covid-19 (coro verifikasi identitas doi
perspektif umur 19 an). Menarik, telah terjadi pergeseran cara pandang
ber-IMM dikalangan kader dewasa ini, dengan ciri khasnya kaum Z lah, milenial
lah, ataupun baby boomers lah. Alhasil, point of minding yang
muncul adalah terjadi dinamisasi paradigma sebagimana zaman menghendaki.
Okelah, bukan masalah serius untuk diperkarakan dengan mengkerucutkan dahi sambil
bercucuran keringat, bukankah ada kebahagiaan di setiap kejadian, hikmah?
Contoh kasusnya
tereskpresikan oleh beberapa kader tingkat komisariat di lingkungan IMM
Banyumas. Menurut mereka (“R” dan “S”), kebahagiaan ber-imm sudah terpantik
sejak mengikuti prosesi sakral Darul Arqam Dasar (DAD), untuk kemudian timbul perasaaan
nyaman tatkala mereka berbaur dengan para pendahulu maupun adik tingkat para
kader. Dapat mengembangkan aspek religiusitas, humanitas sekaligus intelektualitas,
dan yang terpenting bagi mereka berdua adalah berkhidmat untuk umat. Awesome,
sekiranya beberapa pengalaman (ber-imm) seperti dua kader tersebutlah yang
seharusnya ditampilkan ke ruang publik, meskipun unjuk rasa pun perlu
disuarakan, sebagai penyambung lidah kaum proletar. So, pada dasarnya,
IMM adalah wadah bagi siapapun untuk mengekspresikan jati diri mereka, semisal
frasa “IMM Versi Bahagia”
Kebahagiaan
Menurut KBBI,
term kebahagiaan bermakna kesenangan dan kententeraman hidup (lahir-batin),
keberuntungan, dan kemujuran yang bersifat lahir-batin. Sedangkan menurut
sejarah, akar kata kebahagiaan bermula dari konsep tujuan hidup manusia menurut
Aristoteles, berupa pencapaian nilai kebahagiaan (eudaimonia).
Menurutnya, anasir kebahagiaan tercermin ketika manusia mempunyai fisik yang
normal, kekayaan harta, mempunyai reputasi jabatan, tercapainya cita-cita
hidup, dan kesempurnaan akal sekaligus agama sebagai penyeimbang dalam
keberlangsungan hidup (Azmi dan Zulkifli 2018). Sedangkan bagi Plato, melalui pembagian
jiwa manusia yang terdiri dari akal, spiritual dan nafsu, maka seseorang akan
menuai kebahagiaan tatkala jiwanya diarahkan untuk mendekat kepada Tuhan,
karena disaat itulah jiwa manusia terbebas dari kungkungan materi yang
dikendalikan oleh hawa nafsu (Hasib 2019).
Sama halnya
dengan gagasan Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, tentang perpaduan antara
hati, akal dan indra. Jika hati ditempatkan sebagai raja, akal sebagai komandan
perang, dan indra sebagai prajuritnya, maka keseimbangan hidup berupa
kebahagiaan sudah barang tentu akan dirasakan manusia. Namun, jangan sampai
komandan perang mengendalikan raja, ataupun prajurit mengendalikan komandan,
kacau jadinya. Lebih mengkerucut lagi melalui tradisi tasawuf, dalam berbagai
tingkatkan seperti maqamat (stations), ahl wal (states), ittihad (unity),
wahdat al-wujud (kesatuan wujud), wahdat al-shuhud (kesatuan penyaksian),
wahdat al-adyan (kesatuan ajaran agama), dan berbagai istilah lain (Bakar 2018). Singkatnya, jalan yang dilalui
para salik merupakan perjalanan spiritual (peak experience)
menuju Tuhan dengan perolehan sekaligus menikmati luapan contex of discovery
(penemuan hakikat) dan contex of justification (pengamalan hakikat serta
menjelaskannya kepada orang lain, sesuai penemuan hakikat para salik
masing-masing).
Terakhir,
merujuk pada postulat agama Islam, derivatif kebahagiaan erat hubungannya dengan
term sa’id (bahagia), yakni meminta pertolongan kepada manusia –terhadap
perkara ketuhanan– untuk memperoleh kebaikan, atau penganugerahan dari Tuhan
yang tercurahkan kepada seseorang setelah sebelumnya mengarungi kesulitan
hidup; falah (beruntung), yakni menemukan sesuatu yang dicari-cari (idrak
al-bughyah), baik berbentuk kebahagiaan duniawi (sehat badan, kaya harta
dan status sosial) maupun kebahagiaan ukhrawi (ketenagan hidup, kehormatan
sosial dan pengetahuan hakiki); najat (selamat), yakni kebahagiaan
tatkala terbebas dari apapun yang menakutkan bagi dirinya, seperti terbebas
dari kebodohan ilmu dan terbebas dari bencana yang memporak-porandakan tempat
tinggalnya; dan najah (berhasil), yakni kebahagiaan tatkala apa yang diidam-idamkan
akhirnya terkabulkan juga, seperti kebahagiaan sepasang pengantin setelah
sebelumnya menjalai shalat hajat, masing-masing memanjatkan doa agar dapat
disatukan dalam satu ikatan suci dengan pasangan hidupnya (Hamim 2016).
IMM Wadahnya Kebahagiaan
Wadah adalah tempat penampung sesuatu sesuai dengan fungsi dari wadah tersebut. Jika dianalogikan dengan gelas sebagai wadah penampung air minum, maka terlihat elok tatkala air memenuhi gelas ataupun mendekati penuh, lain halnya jika gelas hanya terisi sedikit air. Begitu pun IMM sebagai wadah bagi para kadernya, yakni berfungsi untuk membahagiakan kader sesuai kebutuhan mereka. Adapun kebahagiaan kader akan terealisasikan melalui IMM, jika IMM dapat menjalankan fungsinya di tiga dimensi berikut:
Dimensi Internal, mengharuskan IMM untuk menyadarkan para kader terhadap jati diri mereka. Melalui analisis kepribadian, bakat serta minat masing-masing, untuk kemudian diberikan pemahaman tentang berbagai macam worldview (cara pandang) terhadap kehidupan yang sedang berkembang, baik di ranah akademik, agama, politik, maupun sosial-budaya. Dimensi Eksternal, setalah matang pada jati diri dan pemahaman worldview, maka tahap selanjutnya adalah para kader diberikan pemahaman, pengarahan dan bimbingan terhadap dinamika kehidupan yang sedang terjadi. Cara aplikatifnya melalui diskusi literatur, menyoroti fenomena di kehidupan, dan menuangkan gagasannya melalui tulisan (berupa opini, essay, penelitian), aksi lapangan (unjuk rasa, liputan berita) maupun karya lain yang sesuai dengan sumber daya IMM di tempat masing-masing. Terakhir, Dimensi Tranpersonal, dimensi ini mengharuskan IMM untuk memberikan nuansa ketuhanan dalam segala aspek langkah para kadernya, dikarenakan niscaya bagi para kader untuk memantapkan hatinya, tatkala menjiwai makna anggun dalam moral, unggul dalam intelektual. IMM, Jaya !
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan