,

Dikembangkan atau Dibentuk?




Berbincang perihal manusia, adalah problem yang tak berujung. Bagaimana mungkin definisi terhadap manusia sudah final, dan atau (minimal) mendekati siapa itu manusia? Bukan karena ilmu pengetahuan tidak berperan disini, lebih dari itu, manusia adalah subjek sekaligus objek pembahasan holistik plus dinamis. Lihat saja, perhelatan tradisi keilmuan sejak periode klasik sampai post-modern, satu sama lain saling melengkapai khasanah redefinisi manusia. Menariknya, sosok makhluk ini mempunyai tugas besar untuk mengemban amanah sebagai pemimpin di muka bumi (khalifah fil ardl), dengan menjaga kelestarian alam, keseimbangan ekosistem, serta mengolah dan mengotak-atik seluruh isinya demi menegakkan kalimat tunggal laa ilaaha illallah (tiada Tuhan yang patut diibadahi kecuali Allah). Hal demikianlah yang membedakan antara “keberadaan” manusia dengan makhluk lain sebangsa hewan, tumbuhan, jin, iblis, dan malaikat.
Melangkah lebih jauh akan hakikat keberadaan manusia di muka bumi, niscaya kita temukan pondasi – pembentuk karakter manusia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tindakannya. Di sisi lain, irama dialektika mengenai karakter telah dibahas sejak dahulu kala oleh pakar antropologi, sebagai bentuk apresiasi terhadap disiplin ilmu pada bidangnya. Salah satu tokoh aktif pada tema ini adalah Prof. Dr. H. Maragustam, M.A. yang membincangkan karakter manusia melalui landasan normatif QS. ar-Rum (30) ayat 30.(Maragustam, 2013, pp. 76–84)
Menurutnya, terdapat empat madzhab (aliran sudut pandang) dalam memandang karakter manusia, yakni madzhab fatalis-pasif yang menyatakan diri bahwa karakter manusia sudah menjadi ketetapan Allah (ilmu azali), karakter dapat dialirkan kepada ketururan (hereditas gen) secara kodrati, dan keberadaan manusia di muka bumi bagaikan wayang dalam sebuah pentas pertunjukan; madzhab netral-pasif, menyatakan bahwa karakter manusia pada mulanya bersifat kosong (sama dengan teori tabularasa), lingkungan eksternallah yang mempengaruhi sekaligus membentuk karakter seseorang, oleh karenanya sifat karakter seseorang dapat terdeteksi dari teman dekat dia dalam bergaul; madzhab positif-aktif, menegaskan bahwa karakter manusia itu sesuai fitrah (cenderung) kepada kebaikan (hanif), dan jika bersikap negatif, maka itu merupakan pengaruh dari luar dan bersifat aksidental; dan madzhab dualis-aktif, menyatakan bahwa karakter manusia bersifat ganda, yakni cenderung kepada kebaikan dan kejahatan, hal ini atas dasar manusia diciptakan dari bahan dasar berupa tanah dan ruh (kedua unsur ini mempunyai daya tangkap sama-menyeluruh). Alhasil, dua madzhab terakhir adalah pilihan logis dalam membentuk karakter manusia yang kuat dan positif, dikarenakan faktor hereditas, faktor lingkungan, faktor kebebasan manusia menentukan karakternya dan nasibnya yang dimulai dari mindset seseorang dan faktor hidayah Tuhan.
Kemudian, manusia akan sesuai dengan tujuan ia diciptakan, apabila sadar terhadap siapa dirinya (potensi atau kemampuan dengan karakter masing-masing), apa peran yang harus diambil dan dilakukan (bagi dirinya, keluarga, sosial-masyarakat, bangsa dan negara, serta agama yang dianut), serta mengetahui dengan yakin terhadap konsep kehidupan (taqdir-sunnatullah), dimana satu sama lain –antar makhluk – adalah saling mengisi-melengkapi dan mendukung kebestarian (wisdom). Oleh karenanya, rangkaian pembahasan dalam naskah ini, haruslah dijadikan panduan hidup bagi segenap manusia, terlebih di zaman sekarang yang notabene telah terjadi degradasai moral secara cepat sekaligus menyeluruh. Jadi, mari kita meredefinisi manusia dengan memulainya dari memahami sisi keberadaan, karakter, hakikat dan tujuan hidup dengan basis kesadaran yang tinggi, berakhlak, serta mulia.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan