,

Islam Dan Teologi Pembebasan: Pendidikan Kenabian



 
Berbicara tengtang Islam maka yang tergambarkan adalah konsep mengenai kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Hal ini dikarenakan agama Islam mengandung makna keselamatan bagi siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Secara sederana, Islam menawarkan pola hidup teratur dari bangun tidur sampai akan tidur kembali, rutinitas yang ada mengandung nilai-nilai luar biasa jika dilihat dari segi pendidikan, kesehatan, sosial, dan bahkan secara ilmiah-pun dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai contohnya Islam mengajarkan agar setiap manusia menghargai waktu, sebagaimana dikhabarkan dalam surat Al-‘Asr:[1]
“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kesabaran”
Dalam memaknai ayat ini, perlu dipahami bersama terkait dengan paradigma penafsiran ayat, pada penafsiran sebuah ayat dapat dilakukan secara tekstual maupun penafsiran kontekstual yang mana masing-masing dari penafsiran tersebut mempunyai pemahaman sendiri, berupa:
1.       Kecenderungan atau orientasi tekstual (al-ittijah an-nassi) dan kontekstual (al-ittijah al-waqi’) dalam tradisi tafsir al-quran tidak terlepas dari paradigm yang mendasari kedua tafsir itu. Paradigm yang dimaksud di sini meliputi persoalan hakikat tafsir tekstual dan kontekstual, asumsi dasar, prinsip atau akidah, dan parameter kebenaran (validitas) kedua tafsir tersebut. Selanjutnya, implikasi kedua orientasi tafsir itu memahami terma islam dan konsep keselamatan dalam al-quran. Meski berbeda orientasi, keduanya tidak perlu dipertentangkan, bahkan justru bisa saling melengkapi. Asumsi dasar tafsir yang beroriantasi tekstual adalah al-quran secara verbal-tekstual merupakan firman Tuhan yang diberlakukan di setiap waktu dan tempat (salih li kulli zaman wa makan). Oleh karena itu, al-quran mesti dipahami secara lahiriah menurut makna aslinya untuk menghindari penyelewengan makna. Al-quran diyakini merupakan sumber kebenaran tunggal dan doktrin keagamaan yang telah baku. Sedangkan prinsip atau akidah yang dipegang dalam aktivitas penafsirannya adalah al-ibrah bi ‘umum al-lafz la bi khusus as-sabab (ketetapan makan itu didasarkan pada universalitas (keumuman) teks, bukan pada partikularitual (kekhususan) sebab. Sedangkan parameter kebenaran tafsirnya adalah kebenaran berada pada tataran tekstual (harfiah), yaitu dalam pengertian makna teks sebagaimana yang dikatakan oleh teks secara tersurat, sedangkan diluar atau di balik teks dianggap bertentangan dengan, atau paling tidak merusak, makna asli teks. Sebaliknya, asumsi dasar tafsir kontekstual adalah al-quran merupakan kitab yang salih li kulli zaman wa makan, sebagai kitab petunjuk (hudan) yang berlaku sepanjang masa. Meski demikian, keberlakuan alquran itu harus dipahami dalam konteks prinsip-prinsip dan semangat substantifnya, progesivitas, dan kontekstualitasnya, yaitu dalam pengertian bahwa ayat-ayat al-quran harus didialogkan dengan realitas kekinian sehingga dapat memberikan solusi terhadap berbagai problematika kemanusiaan. Prinsip-prinsip universalitas-substantif tidakselalu tertuang dalam pernyataan ayat secara tersurat, tetapi sering kali hanya secara implisit yang bisa diketahui apabila pemahaman atas ayat-ayat al-quran tidak dilakukan secara harfiah atau parsial. Adapun prinsip atau akidah yang diyakini orientasi tafsir ini adalah al-‘ibrah bi khusus as-sabab la bi ‘umum al-lafz (ketetapan makna itu didasarkan pada partikularitas (kekhususan) sebab, bukan pada universalitas (keumuman) teks). Bahkan prinsip yang diyakini, terutama oleh kalangan kontemporer sudah melangkah pada kaidah al-‘ibrah bi maqasid asy-syari’ah (ketetapan makna didasarkan pada tujuan disyari’atkannya suatu teks/doktrin). Prinsip ini mencoba mencari sintetis-kreatif dalam menafsirkan teks dengan berpegang teguh pada tujuan disyari’atkannya sebuah doktrin. Sedangkan parameter yang ddigunakan tefsir ini kebenaran tafsir terletak pada tataran “fungsionalisme teks”, yaitu teks itu membawa pada kemlasahatan manusia sesuai nilai-nilai universal yang telah digariskan.
2.       Tafsir yang beroriantasi tekstual memahami terma islam sebagai sebuah agama yang mengandung seperangkan doktrin yang telah baku (taken for granted). Islam dalam pandangan tafsir ini dianggap bukan hanya sebagai sebuah keyakinan (‘aqidah) semata, melainkan juga sebagai identitas dari sebuah agama yang terlembagakan yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Sedangkan tafsir yang berorientasi kontekstual memahami terma islam sebagai sebuah instrument agama dengan seperangkat doktrin yang bersifat universal dan progesif. Menurut tafsir ini, islam yangmencitrakan dirinya sebagai agama rahmatan lil ‘alamin tidak mungkin bersifat kaku dan statis. Islam adalah sesuai dengan citranya yang bersifat elegan, progresif, dan dinamis. Dalam orientasi tafsir ini, kebenaran dan keselamatan itu dimilii setiap man aslama wajhahu lillah wa huwa muhsin (orang-orang yang menyerahkan diri pada Tuhan dan berbuat baik).[2]
Jadi, makna secara teksrual ayat ini menggambarkan tentang sumpahnya Allah melalui Masa, kemudian menilai bahwa manusia ini selalu dalam keadaan rugi, melainkan mereka yang saling menasehati satu-sama lain dalam kebaikan dan kesabaran. Namun, jika ditelisik secara kontekstual, ayat ini mengandung makna yang sangat luas, sampai kata “Jikalau kitab Allah ini hanya berisikan ayat ini, dan manusia memahami secara betul kandungan maknanya, maka cukuplah dengan ayat ini manusia hidup secara damai”.
Kemudian, berbicara mengenai Teologi Pembebasan, merupakan paham mengenai ilmu ke-Tuhanan dalam rangka mengembalikan eksistensi manusia sebagai khalifahNya dibumi ini, dalam artian manusia diciptakanNya sebagai makhluk sosisal untuk saling mengenal satu sama dalam sebagai kawan sekaligus berjuang dalam menegakkan kesejahteraan sosial secara bersama-sama. lain halnya tatkala penindasan sebagai ajang untuk membaguskan diri melalui praktik menyimpang dari  norma agama, ini tercerminkan tatkala utusan terakhir belum hadir didataran Makkah kala itu. Kondisi ekonomi-sosial yang menindas, tidak terciptanya Humanisasi, bahkan membunuh bayi perempuan yang baru lahir dan memandang rendah martabat wanita, serta mengonsumsi minuman yang memabukkan dan yang lainnya merupakan kebiasaan yang lumrah dikalangan masyarakat Makkah.[3] Konsep mengenai Teologi Pembebasan ini sudah digagas sejak zaman dahulu oleh cendekiawan Muslim bernama Asghar Ali Engineer, lalu kemudian di interpretasikan oleh cendekiawan Indonesia bernama Kuntowijoyo dengan konsepnya yang mengacu pada surat Ali-‘Imran ayat 110. Perihal nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi. Diisyaratkan sebagai “pengilmuan Islam”, “paradigma Islam”, lalu “Islam sebagai ilmu”.[4] Serta Mohammad Roqib, M.Ag. dalam unsur-unsur budaya profetik ynag meliputi transendensi, humanisasi, dan liberasai[5] sebagai satu kesatuan integrative dan interkoneksi.
Oleh sebab itu, makna tentang Teologi Pembebasan haruslah menyantuh ranah sosial kemasyarakatan sebagaimana Islam merupakan rahmatan lil ‘alamin. Tak lain halnya dalam dunia pendidikan selaku bagian tepenting dalam keseharian sosial manusia. Pendidikan menurut Ibn Khaldun[6] mempunyai tiga tujuan yang perlu dicapai, yaitu peningkatan kecerdasan dan kemampuan berpikir, peningkatan segi kemasyarakatan manusia, peningkatan segi kerohanian. Dalam segi kemasyarakatan manusia, pendidikan diarahkan agar terciptanya manusia yang mempunyai pengetahuan luas, dan mempunyai kepribadian yang baik. Kepribadian ini dicapai dengan menampakkan akhlak yang anggun seperti dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Pendidikan sejati adalah pendidikan kenabian dalam rangka menuju masyarakat Ideal (Khair Ummah) sebagaimana dasar pijakannya mengacu pada Q.S. Ali Imran: 110 melalui tiga nilai berupa Humanisasi, Liberasi, dan Transendesi yang mencerminkan bahwa pendidikan itu harus dibangun berdasarkan empat syarat dan tiga unsur. Dasar bangunan yang bertumpu pada empat hal yaitu komunitas, visi atau arah tujuan, gerak dinamis atau program kerja, dan terakhir ada kepemimpinan. Bagi komunitas dan pemimpin yang menjadi subjek bagi pelaksanaan visi dan misi program harus menyerap tiga nilai atau pilar sekaligus dalam praktiknya, yaitu nilai transendesi yang menjadi orientasi dan visi hidup subjek, humanisasi untuk selalu meningkatkan martabat menuju keterpuian, dan terakhir liberasi untuk memersihkan diri dari kotoran, kelemahan, kekurangan, dan keterbelakangan. Segala yang mendorong kearah kelemahan dan negatif harus dibebaskan dari kehidupan manusia lewat pendidikan kenabian.


Catatan kaki

[1] Dr. Ahmad Hatta, MA., Tafsir Qur’an Per Kata, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2011), Hlm. 601
2 Dr. H. U. Syarifudin., Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual: Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet-1, 2009)
3 Prof. Dr. H. Faisal Ismail, M.A., Sejarah & Kebudayaan Islam: Periode Klasik (Abad VII-XII M), (Yogyakarta: Ircisod, 2017), Hlm. 52-55
4 Kuntowijiyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemology, Metodologi, Dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
5 Dr. Moh. Roqib, M.Ag., Prophetic Education, (Purwokerto: STAIN Press, 2011), Hlm.78-86.
6 Lady Farhana Dan Sa’diah Fiddaro’ini, Kader Muda Ikatan Bertabligh, (Yogyakarta: Semesta Ilmu) Hlm.84




[1] Dr. Ahmad Hatta, MA., Tafsir Qur’an Per Kata, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2011), Hlm. 601
[2] Dr. H. U. Syarifudin., Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual: Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet-1, 2009)
[3] Prof. Dr. H. Faisal Ismail, M.A., Sejarah & Kebudayaan Islam: Periode Klasik (Abad VII-XII M), (Yogyakarta: Ircisod, 2017), Hlm. 52-55
[4] Kuntowijiyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemology, Metodologi, Dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
[5] Dr. Moh. Roqib, M.Ag., Prophetic Education, (Purwokerto: STAIN Press, 2011), Hlm.78-86.
[6] Lady Farhana Dan Sa’diah Fiddaro’ini, Kader Muda Ikatan Bertabligh, (Yogyakarta: Semesta Ilmu) Hlm.84

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan