Generasi
awal (baca: para sahabat) merupakan bukti keberadaan segolongan atau sekelompok
manusia dengan keadaan terbaiknya. Tak lain mereka ini adalah hasil dari Tarbiyah
langsung yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Sejarah telah mencatat akan
kehandalan mereka didalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dikuasainya,
baik ilmu keTuhanan maupun ilmu tentang keduniaan sebagai bagian dari aktivitas
dan pengisian waktu senggang dalam rangka menuju kehadirat Tuhan. Begitu pula
dengan jajaran para Tabi’in dan setelahnya, sampai dengan puncak kejayaan ummat
Islam dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, yakni terlahirnya para cendekiawan
diberbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti dibidang ilmu sejarah muncul
nama-nama besar seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Taghribardi, dan Ibnu Khalikan; dibidang
ilmu astronomi, tercatat nama Nashiruddin ath-Thusi; dibidang ilmu matematika,
dikenal nama Abul Faraj al-‘Ibry; dibidang ilmu kedokteran, diabadikan nama
Abul Hasan Ali an-Nafis (penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru
manusia), Abdul Mun’im ad-Dimyihi (seorang dokter hewan), dan ar-Razi yang
dikenal sebagai perintis psikoterapi; dibidang opthalmologi, terekam nama
Salahuddin ibn Yusuf; sedangkan di bidang ilmu keagamaan, tercata sederat nama-nama
terkenal, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (seorang mujaddid, mujahid, dan
ahli hadits), Imam as-Suyuthi yang mendalami dan menguasai banyak ilmu
keagamaan, dan Imam Ibnu Hajar ar-Asqalani yang tersohor sebagai pakar Ilmu hadits
dan ilmu fiqh.[1]
Betapa
rindunya kita dimasa sekarang ini yang mendambakan sosok pencerah dalam
mengatasi berbagai polemik kehidupan manusia yang semakin kompleks, dari kelas
pemungut barang bekas sampai dengan kelas berdsai dan bergelar. Kenikmatan yang
memadai merupakan senjata utama dalam membunuh sebuah masyarakat dengan corak pluralistik
dan masih dalam tahap berkembang secara terengah-engah. Kesenjangan yang nampak
dipermukaan, kiranya melebar dalam kemewahan “abu-abu”, disisi lain ancaman
bagi jaminan keselamatan hidup atau keselamatan jiwa, keselamatan harta,
keselamatan keluarga, keselamatan bangsa, keselamatan akal, dan keselamatan
agama merupakan sesuatu yang mendesak dalam hal penanganannya.
Makna
Keselamatan adalah suatu hal kewajiban bagi setiap jiwa untuk mengusahakan dan
diusahakannya. Penguasa dan orang tua berperan penuh dalam tanggungjawabnya
terhadap pemeliharaan keselamatan bagi generasi berikutnya, dilain hal setiap
jiwa dipertanggungjawabkan dalam menjaga keselamatan diri dan orang lain,
dengan kata lain, polemik yang saat ini telah, sedang, dan akan muncul terjadi
merupakan persoalan besar bersama yang harus ditanggung dan ditangani melalui
koridor didalam kehidupan masing-masing. Oleh karenanya, baris utama dalam
memperbaiki semua ini dimulai dari cetakan generasi yang sesuai dengan idealisme
manusia, yakni manusia yang mempunyai kesehatan ruhani, sebagaimana kesehatan
ruhani dalam pandangan Islam adalah selamatnya kalbu (hati nurani) dari
penyakit-penyakit ruhani, karena telah hadirnya cahaya hidayah atau petunjuk
Ilahiah yang terdapat didalamnya. Cahaya itu mengandung energy dan power
Ilahiah yang senantiasa mendorong
dan menerangi eksistensi diri selalu tetap dalam keyakinan dan persaksian
tauhid “la ilaha illa Allah”, yakni tiada sesembahan melainkan Maha Zat
yang bernama Allah ‘Azza wa Jalla, wa Subbanahu wa Ta’ala (Maha Mulia
dan Maha Agung, Maha Suci dan Maha Tinggi).[2]
Dalam
tataran menuju derajat mulia, tahapan demi tahapan haruslah dilalui sebagai
proses kebiasaan dalam membentuk kepribadian mental-spiritual yang sehat.
menilik konsep kesehatan ruhani tak terlepas akan petunjuk Tuhan dalam tujuannya.
Pertama, petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia,
yang tersimpul dalam keimanan terhadap keesaan Tuhan dan kepercayaan atas kepastian
adanya hari pembalasan. Kedua, petunjuk mengenai akhlak yang murni
dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti
oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif. Ketiga,
petunjuk mengenai sarat dan hukum dengan jalan mengedarkan dasar-dasar hukum
yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.
Atau, dengan kata lain yang lebih singkat, “Al-Quran adalah petunjuk bagi
seluruh ummat manusia kejalan yang harus ditepuh demi kebahagiaan hidup didunia
dan akhirat.”[3]
Interpretasi
dari petunjuk itu sendiri mempunyai struktur yang membimbing manusia, dalam
artian adanya korelasi dari berbagai macam substansi petunjuk untuk manusia itu
sendiri, struktur ini diterangkan dalam hal Innate Structuring Capacity.[4]
Dalam Islam, Tauhid mempunyai kekuatan membentuk struktur yang paling
dalam. Sesudah itu ada Deep Structure, yaitu akidah, ibadah, akhlak,
syari’ah, dan muamalah. Dipermukaan, yang dapat diamati, berturut-turut
akan tampak keyakinan, shalat/puasa, dan sebagainya, moral/etika, perilaku
normative, dan perilaku sehari-hari.
Manusia
disisi Tuhan adalah sama dalam tingkat kedudukan derajatnya, melainkan orang
yang bertaqwa dan mempunyai ilmu sebagaimana firmanNya dalam surat Al-Mujadalah
ayat 11:
Wahai
orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “berilah kelapangan
didalam majelis-majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu, dan apabila dikatakan, “berdirilah kamu,” maka berdirilah,
niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang
kamu kerjakan”.
Dengan
adanya pemehaman demikian, konsep kebebasan merupakan hak setiap individu untuk
memperolehnya, dalam hal ini sebagaimana Farid Esack dalam konsep pembebasan
pada pembahasan Manusia. Menyatakan bahwa manusia menempati posisi sntral dalam
kehidupan. Sentralitas ini ditunjukkan Tuhan ketika memilih mereka sebagai khalifahNya
dibumi dan meniupkan ruhNya pada manusia pada saat penciptaannya
(QS.Al-Hijr:29). Signifikansi manusia beserta kepentingan dan pengalamannya
menjadi faktor yang membentuk hermeutika. Setidaknya ada dua implikasi
hermeutika ketika manusia menjadi pusat perubahan dalam kehidupan.[5] Pertama, ia menjadi
esensi bahwa al-quran ditafsirkan dengan cara memberikan dukungan bagi
kepentingan manusia secara keseluruhan bagi kepentingan manusia secara
keseluruhan daripada kalangan minoritas. Kedua, penafsiran harus
dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi kemanusiaan secara keseluruhan.
Idealisme
manusia dalam pencerahan menggambarkannya sebagai sentral dari peubahan dalam
taraf yang dinamakan dengan kesehatan ruhani, struktur pengetahuan sebagaimana disebutkan
oleh Kuntowijoyo sebagai Innate Structuring Capacity, melalui alat
berupa ilmu. Oleh karenanya, ilmu adalah senjata utama bagi setiap manusia
dalam hal mencerahkan, melalui kaitannya dengan ilmu, sebagaimana dinyatakan
oleh As Syeikh Az Zarnuji[6] dalam kitab Ta’lim
Muta’alim menyatakan mengenai hakikat ilmu, hukum mencari ilmu dan
keutamaannya, yakni:
Perlu diketahui bahwa, kewajiban menuntu ilmu
bagi muslim laki-laki dan perempuan ini tidak untuk sembarang ilmu, tapi
terbatas pada ilmu agama, dan ilmu yang menerangkan cara bertingkah laku atau
bermuamalah dengan sesama manusia. Sehingga ada yang berkata, “ilmu yang paling
utama ialah ilmu hal. Dan perbuatan yang paling mulia adalah menjaga perilaku.”
Setiap orang Islam diwajibkan menuntut ilmu yang
berkaitan dengan apa yang diperlukannya saat itu, kapan saja. Oleh karena
setiap orang islam mengetahui rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya shalat,
supaya dapat melaksanakan kewajiban shalat dengan sempurna.
Dengan
bekal inilah setiap manusia mampu memberikan pencerahan dengan dasar pribadi
yang sehat jasmani dan ruhaninya, mempunyai pengetahuan tentang struktur ilmu,
dan mempunyai pemahaman mendalam terkait berbagai macam ilmu sebagai bekal
pencerahan bagi pribadi, keluarga, bangsa dan negara, serta menjamin kebebasan
atas nama agama yang dianutnya.
Catatan
kaki
[1] Prof. Dr. H. Faisal Ismail, M.A., Sejarah
& Kebudayaan Islam: Periode Klasik (Abad VII-XII M), (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2017), hlm. 374
2 Hamdani Bakran
Adz-Dzakiey, Propethic Intelligene: Kecerdasan Kenabian, Menumbuhkan Potensi
Hakiki Insani Melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani, (Yogyakarta: Al-Manar,
2013), hlm.5
3 Salman Rusydia Anwar, 29
Sandi Al-Quran: Mengurai Misteri Dibalik Huruf-huruf Muqatha’ah,
(Yogyakarta: Najah, 2012), hlm.13
4 Kuntowijiyo, Islam
Sebagai Ilmu: Epistemology, Metodologi, Dan Etika, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006), hlm.33
5 Ahmala Arifin, M.Ag.,
Tafsir Pembebasan: Metode Interpretasi Progresif Ala Farid esack, (Yogyakarta:
Aura Pustaka), hlm. 78-79
6 Asy Syeikh Az Zaurji, Terjemah
Ta’lim Muta’alim: Buku Panduan Bagi Kita Untuk Menuntut Ilmu Yang Benar, (Surabaya:
Mutiara Ilmu, 2016), hlm.4
[1] Prof. Dr. H. Faisal
Ismail, M.A., Sejarah & Kebudayaan Islam: Periode Klasik (Abad VII-XII
M), (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), hlm. 374
[2] Hamdani Bakran
Adz-Dzakiey, Propethic Intelligene: Kecerdasan Kenabian, Menumbuhkan Potensi
Hakiki Insani Melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani, (Yogyakarta: Al-Manar,
2013), hlm.5
[3] Salman Rusydia Anwar, 29
Sandi Al-Quran: Mengurai Misteri Dibalik Huruf-huruf Muqatha’ah, (Yogyakarta:
Najah, 2012), hlm.13
[4] Kuntowijiyo, Islam
Sebagai Ilmu: Epistemology, Metodologi, Dan Etika, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006), hlm.33
[5] Ahmala Arifin, M.Ag.,
Tafsir Pembebasan: Metode Interpretasi Progresif Ala Farid esack, (Yogyakarta:
Aura Pustaka), hlm. 78-79
[6] Asy Syeikh Az Zaurji, Terjemah
Ta’lim Muta’alim: Buku Panduan Bagi Kita Untuk Menuntut Ilmu Yang Benar, (Surabaya:
Mutiara Ilmu, 2016), hlm.4
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan