, ,

Madzhab Imam Ahmad ibn Hanbal

A. Riwayat Hidup Ahmad ibn Hanbal
   Mazhab hanbali sering diidentikan dengan tokoh penggagasnya, yaitu Ahmad ibn Hanbal. Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Usd ibn Idris ibn Abdullah ibn Hayyan ibn Abdullah ibn Anab ibn Auf ibn Qasith ibn Mazin ibn Syaiban. Ia lahir di Baghdad Irak pada tahun 164 H (780 M) dan wafat pada tahun 241 H (855 M). Jasadnya dimakamkan di Bab Harb. Sekarang, tempat ini sering dikunjungi para peziarah yang dikenal dengan Al-Harbiyah. Ayahnya menjabat Walikota Sarkhas dan merupakan salah seorang pendukung pemerintahan Abbasiyah. Ahmad ibn Hanbal adalah seorang ilmuwan ahli fiqh yang gigih meluruskan akidah islam yang dianggap telah diselewengkan oleh kaum Mu’tazilah yang menguasai pemerintahan Al-Ma’mun ibn Harun Ar-Rasyid tahun 198 H. Bahkan dijadikan sebagai madzhab resmi Negara. Aliran mu’tazilah pada saat itu dipimpin oleh Qadhi Al-Qudhah Ahmad ibn Dawud, karena persamaan ideol`ogi tokoh ini yang sangat dekat dengan khalifah Al-Ma’mun, terutama berkaita`n tentang kedudukan Al-Quran sebagai makhluk ciptaan Allah. Kebijakan ini mendapatkan reaksi yang keras dari aliran fiqh ahli sunnah, termasuk Ahmad ib`n Hanbal. Karena perbedaan ini, Ahmad ibn Hanbal dipenjara dan diintimidasi pada tahun 218 H.
    Pada tahun 277 H, Al-Mu’tashim digantikan Al-Wasiq. Kebijakan politik pada masa ini lebih lunak dari pada dua orang khalifah pendahulunya. Al-Wasiq hanya meminta agar Ahmad ibn Hanbal tidak terlalu menentang kemakhlukan Al-Quran. Kondisi ini berlangsung sampai tahun 232 H. Bahkan peristiwa mihnah yang berlangsung sejak tahun 218 H sampai 233 H telah berakhir karena Al-Mutawakil adalah salah seorang khalifah Abbasiyah yang tidak mendukung ideologi Mu`tazilah tetapi pendukung ahli sunnah.

B. Guru Ahmad ibn Hanbal 
    Ahmad ibn Hanbal sering melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk menuntut ilmu. Pada tahun 183 H, ia pergi ke kuffah, tahun 186 H ke Bashrah tahun 197 H ke Mekah. Negara dan kota yang pernah disinggahinya adalah syam (syiria), Yaman, Maroko, Aljazair, Persia, dan Khurasan. Disamping menuntut ilmu, ia mengumpulkan hadits-hadits Nabi yang ia pelajari sejak usianya masih 16 tahun. Gurunya antara lain:
    1. Sufyan ibn uyainah
    2. Ibrahim ibn sa’ad
    3. Yahya ibn said al-qaththan
    4. Husyaim ibn Basyir
    5. Mu’tamar ibn sulaeman
    6. Ismail ibn atiyah
    7. Waqi ibn al-jarrah
    8. Abdu ar-rahman al-mahdi
    9. Imam asy-syafii (imam syafi’i)

C. Madzhab Fiqih
    Fiqih hanabilah dikenal sebagai fiqih fundamentalis, dalam arti konstruksi fiqihnya lebih cenderung mengedepankan sumber-sumber utama (Al-Quran dan Hadits) daripada rasio (ra’y) dan tradisi. Dalam perjalanan sejarah pemikiran islam, setelah al-syafi’I, pendulum gerakan keagamaan lebih jauh pindah ke arah anti rasioanlisme. Dampak dari peristiwa mihnah sebagai bentuk politisasi teologi yang diterapkan oleh penguasa Abbasiyah (pasca khalifah al-makmun), semakin menguatkan kecenderungan ulama (termasu Ahmad ibn Hanbal) untuk menolak rasioanlisme Mu’tazilah. Doktrin-doktrin hukum Ahmad ibn Hanbal dan juga Dawud ibn Khalaf al-Dhariri, yang mendominasi bidang hukum selama sebagai besar abad 3H/9M., mencontohkan perpindahan yang drastic dari pola rasionalis ke tradisionalis. Sembari tetap mengakui Al0Syafi’I, Ahmad ibn Hanbal da Dawud al-Dhariri melangkah lebih jauh dalam menekankan sentralitas teks. Perbedaan keduanya adalah bahwa Ibn Hanbal, sebagaimana bisa kita lihat sepintas dari hukum positifnnya, tidak menyukai praktik qiyah, kecuali kalau benar-benar diperlukan; sementara Dawu menolak quyas secara kategoris. Dengan kata lain, ibn Hanbal menghindari qiyas, tetapi tidak semuanya. Ia lebih memilih menggunkan hadis dha’if sebagai sandaran hukum. Sedangkan, Dawud benr-benar menolak qiyas dan lebih menyukai bacaaan literal dari kedua sumber utama (Al-Quran dan Hadits).
    Prinsip dasar fiqih Hanbali dalam istinbath hukum didasarkan kepada Al-Quran, Al-Sunnah, dan Aqwal (pendapat) sahabat. Dalam kasus tertentu, dia terkadang menggunakan qiyas dan ijma, maslahah mursalah dan sad al-dzari’ah. Khusus terkait dengan sumber al-sunnah, ibn Hanabl menggunakan hadits dha’if jika tidak didapati yang lainnya. Dengan syarat bahwa hadits dha’if tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip (ushul) agama dan hukum yang telah ditetapkan dengan Hadits Shahih.
    Gerakan purifikasi (pemurnian) islam yang dilakukan Ibn ‘Abd Al-Wahab (gerakan Wahhabi) yang bertujuan membawa islam kembali kepada masa awalnya yang murni dan sederhana, yang lebih bergantung kepada al-Quran dan Sunnah, dan didukung oleh keluarga Su’ud yang tampil ketampuk kekuasaan, mengukuhkan Madzhab Hanbali sebagai Madzhab resmi di Saudi Arabia, demikian juga di Qatar. Madzhab Hanbali merupakan penganut setia palestina, suriah, irak, dan lainnya.

D. Metode Hukum
    Adapun metode istidlal Imam Ahmad ibn Hambal dalam menetapkan hukum adalah:
1. Nash dari al-quran dan sunnah yang shahih. Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari al-quran dan dari sunnah rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu, lain tidak.
2. Fatwa para sahabat Nabi Saw. Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari al-quran maupun hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat nabi yang tidak ada perselisihan di kalangan mereka.
3. Fatwa para sahabat Nabi. Yang timbul dalam perselisihan di antara mereka dan diambilnya yang lebih dekat kepada nash al-quran dan sunnah. Apabila imam ahmad tidak menemukan fatwa para sahabat nabi yang disepakati sesama mereka, maka beliau menetapkan hukum dengan cara memilih dari fatwa-fatwa mereka yang ia pandang lebih dekat kepada al-quran dan as-sunah
4. Hadits mursal dan hadits dhaif. Apabila imam ahmad tidak mendapatkan dari al-quran dan sunnah yang shahih serta fatwa-fatwa sahabat yang disepakati atau diperselisihkan, maka beliau menetapkan hadits mursal dan hadits dhoif. Yang dimaksud dengan hadits dhaif oleh imam ahmad adalah karena ia membagi hadits dalam dua kelompok : shahih dan dhoif, bukan kepada : shahih, hasan, dhoif seperti kebanyakan ulama yang lain.
5. Qiyas. Apabila imam ahmad tidak mendapatkan nash, baik al-quran dan as-sunnah yang shahih, serta fatwa-fatwa sahabat, maupun hadits dhoif dan mursal, maka imam ahmad dalam menetapkan hukum menggunakan qiyas. Kadang-kadang imam ahmad pun menggunakan al-mashalih al-mursalah terutama dalam bidang siyasah. Sebagai contoh, imam ahmad pernah menetapkan hukum ta’zir kepada orang yang selalu berbuat kerusakan dan menetapkan hukum had yang lebih berat terhadap orang yang minum khamr pada siang hari di bulan ramadhan. Cara tersebut banyak diikuti oleh pengikut-pengikutnya. Begitu pula dengan istihsan, istishab, dan sadd al-zarai. Sekalipun imam ahmad itu sangat jarang menggunakannya dalam menetapkan hukum.

    Imam ahmad ibn hambal mengkaji serta meneliti dengan cermat hadits-hadits yang ada kaitannya dengan halal dan haram. Begitu pula terhadap sanad hadits-hadits itu, tetapi beliau agak longgar sedikit dalam menerima hadits-hadits yang berkaitan dengan ajaran-ajaran akhlak atau keutamaan-keutamaan dalam amal ibadat atau adat istiadat yang terpuji, sebagaimana imam ahmad menyebutkan sebagai berikut : “apabila kami terima dari hadits Rasulullah hadits yang menerangkan halal dan haram, juga menerangkan tentang sunnah dan hukum-hukum, kami menelitinya dengan sangat hati-hati dan begitu juga sanad-sanadnya, tetapi apabila kami menerima hadits tentang keutamaan-keutamaan amal ibadat atau masalah yang tidak berkaitan dengan hukum, kami longgarkan sedikit.”

Sumber Rujukan:
Khosyi’ah, Siah. 2014. FIQH MUAMALAH PERBANDINGAN. Bandung: CV PUSTAKA SETIA Arifi, Ahmad. Cet-2. 2010. Pergulatan pemikiran fiqih “tradisi” pola madzhab. Yogyakarta: eLSAQ Press.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan