,

Pierre Bourdieu: Teori Produksi Pengetahuan

Pierre Bourdieu, lahir di kota kecil pedesaan di Perancis tenggara pada 1930, Boudieu tumbuh di rumah tangga kelas menengah-rendah. Pada awal 1950-an dia mengikuti, dan menerima gelar dari fakultas pendidikan yang bergengsi di Paris, Ecole Normale Superieru, Bourdieu mengajar sebentar di suatu sekolah provinsi, tetapi ikut wajib militer pada 1965 dan menghabiskan waktu dua tahun di Aljazair bersama Tentara Prancis. Dia mengikuti kuliah-kuliah antropologi Levi-Strauss di College de France dan bekerja sebagai asisten untuk sosiolog Raymond Aron. Bourdieu pindah ke Universitas Lille selama tiga tahun dan kemudian kembali ke posisi yang kuay sebagai Direktur L’Ecole Practique Des Hautes pada 1964. Pada tahun-tahun berikutnya Bourdieu menjadi tokoh utama di Paris, Prancis, dan pada akhirnya, di lingkungan-lingkungan intelektual dunia. Karyanya mempunyai dampak terhadap sejumlah bidang yang berbeda, termasuk pendidikan, antropologi, dan sosiologi. Bourdieu wafat pada 3 januari 2002 pada usia 71 tahun.[1]
Konsep utama dari Boudieu adalah konsep tentang “Habitus”, yang dipahami sebagai sebuah kecenderungan sosial untuk berpikir atau bertindak dalam cara-cara tertentu.[2] Bourdieu tenggelam dalam gejolak di Paris pada 1960-an dengan bergabung dalam serangan terhadap strukturalisme-strukturalisme kuat (objektivisme-objektivisme.[3] Pemerolehan sebuah habitus adalah konsekuensi langsung dari keterlibatan dalam hubungan sosial tertentu yang berulang-ulang. Habitus yang diperoleh oleh individu melalui keterlibatan dalam rangkaian hubungan sosial yang spesifik menyediakan struktur pengertian dan motivasi bagi manusia untuk hidup di dunia ini dan mengorganisir tindakan-tindakan mereka.
Konsep habitus ini tidak hanya digunakan Bourdieu dengan makna tunggal, tetapi dengan makna yang berbeda-beda.[4] Pertama, habitus merupakan gaya hidup yang merepresentasikan kelas sosial tertentu. Kedua, habitus bisa berupa keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak selalu disadari sehingga tampak seperti suatu kemampuan yang terlihat alamiah, seakan-akan terberi oleh alam. Ketiga, habitus dapat berupa kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realitas sekaligus penghasil praktik-praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur-struktur objektif. Keempat, habitus menyangkut nilai-nilai yang dipraktikkan, misalnya sifat rajin, ulet, jujur, licik, cerdas, dan murah hati. Kelima, habitus merupakan struktur intern yang selalu dalam proses restrukturasi. Meskipun habitus merupakan struktur internal yang memberikan pilihan tindakan, tetapi habitus tidak menjadi determinan tindakan. Habitus sekadar menyarankan apa yang seharusnya dipikirkan orang dan apa yang seharusnya dipilih untuk dilakukan.
Konsep lain yang terkenal dari Bourdieu adalah mengenai empat bentuk perbedaan kapital.[5] Tidak hanya kapital ekonomi dalam makna kaku (seperti contoh bentuk kemakmuran, uang, kekayaan), namun juga kapital budaya (seperti keahlian, dan kepintaran), kapital sosial (jaringan, hubungan bisnis, hubungan sosial dalam masyarakat), dan juga kapital simbolik (seperti kebanggaan, prestis). Kepemilikan keempat kapital ini tentu saja memberikan pengaruh pada habitus seseorang. Namun penempatan keempat kapital tersebut harus disesuaikan dengan arena sosial tertentu dan dalam waktu yang tepat. Arena adalah konsep lain yang dari Bourdieu tentng dunia sosial, penuh mufakat yang bekerja secara otonom dengan hukumnya sendiri, misal arena politik, seni, agama, dan sebagainnya.
Poin terakhir dari Bourdieu mengenai praktik sosial, praktik sosial dirumuskan sebagai hasil dinamika dialektika antara internalisasi eksterior dengan eksternalisasi interior.[6] Praktik sosial merupakan dialektika antara habitus dan arena. Dengan demikian, perilaku individu tidaklah bersifat otonom karena ia merupakan produk interaksi antara pelaku sosial dan struktur sosial, interaksi dialektis antara habitus dan arena atau struktur. Jadi, produksi pengetahuan menurut Bourdieu, adalah dialektika dari habitus, arena, dan kapital untuk kemudian dijadikan sebagai praktik sosial.


[1] Rianayati Kusmini P, trans., Teori Sosiologi, 10th ed., 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019), 578–579.
[2] Ahmad Lintang Lazuardi, trans., Teori Sosial: Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi, 1st ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 20120), 239.
[3] Roh Shufiyati E. Setiyawati A, trans., Teori Sosial dari Klasik sampai Postmodern, 1st ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 212.
[4] Ita Musarrofa, “Pemikiran Pierre Bourdieu Tentang Dominasi Maskulin Dan Sumbangannya Bagi Agenda Pengarusutamaan Gender Di Indonesia,” Kafaah: Journal of Gender Studies 9, no. 1 (2019): 38–39.
[5] Eka Ningtyas, “Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power,” Jurnal Poetika 3, no. 2 (2015): 155.
[6] Muhammad In’am Esha, “Membincang Perempuan Bersama Pierre Bourdieu,” Egalita: Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender 2, no. 1 (2007): 1–16.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan