Abdul hamid menyatakan bahwa identifikasi lemahnya tradisi membaca
adalah tidak adanya gairah dan minat untuk membaca dikalangan ikhwah, juga
adanya rasa sulit dan berat meneruskan bacaan suatu tema tertentu. Berindikasi
pada buruknya gaya bahasa dan susunan kalimat yang digunakan pada banyak karya
tulisnya serta lemahnya kemampuan berbicara dan diskusi. Faktor penyebabnya
berupa tidak ada iklim keilmuan di lingkungan keluarganya, tidak memiliki
target tertentu untuk dicapai dalam hal-hal yang bersifat keilmuan dan tidak
dilibatkannya dalam forum diskusi ilmiah yang dapat memaksanya berhadapan
dengan para pembicara berikut beragam ilmu yang dimiliki. Selain itu, forum
diskusi sesungguhnya dapat menggerakannya untuk tampil di forum ilmiah. Solusi
yang ditawarkan berupa menciptakan iklim membaca, berdiskusi, dan mengatur
waktu secara baik, bervariasi dalam membaca buku, diawalai dengan membaca
buku-buku yang mudah dipahami, lebih baik membaca sedikit tapi terus-menerus,
diadakannya penyuluhan akan pentingnya membaca, dan upayakanlah untuk menuliskan
intisari yang sudah dibaca (2007;127-129)
Mahasiswa! Acapkali disematkan kepadanya sebagai agent of change.
dalam hal ini, masyarakat menganggapnya sebagai manusia yang mampu
melakukan pemecahan terhadap berbagai masalah maupun kebutuhan dari segala lini
kehidupan, sehinga apa yang akan diharapkan oleh masyarakat pastilah dapat
dipenuhi oleh kebijakan dan keuletan mahasiswa. Namun, berbeda halnya apabila
kita berkaca pada kondisi saat ini, dimana arus globalisasi mampu merubah wajah
dan kebengisan mahasiswa yang semula berpartisiasi dalam bidang akademik,
justru berubah arah dalam kebengisan pada berita yang belum dapat dipastikan
kebenarannya / Hoax.
Murthada (2001;17) berpendapat sebagaimana dikutip oleh Deni bahwa
globalisasi memiiki landasan paham ideologi yang sangat kuat korelasinya dengan
paham materialisme, yaitu sebuah paham yang meyakini adanya realitas obyektif
yang bersifat eksternal, paham ini sangat berlawanan dengan paham idealisme
yang mengingkari bahwa materi memiliki realitas eksternal, dan dalam
memandangnya sebagai ciptaan yang diada-adakan oleh pikiran (2009;43). Paham
ini sangat bertentangan dengan fitrah manusia dan dengan ajaran agama Islam,
dimana manusia terdiri bukan saja dari segi material semata melainkan
unsur-unsur rohani pembentuknya pun banyak dengan salah satunya berupa Tauhid
atau keyakinan terhadap keesaan Tuhan. Maka jelaslah bahwa paham ini menafikan
banyak aspek dalam kehidupan yang mana melahirkan manusia yang berwatak
materialistis, individualis, egois, dan bahkan pragmatis. Ketika materi menjadi
keutamaan bagi setiap individu maka berakibat pada kecerdasan batinnya yang
melemah atau mengidap krisis kemanusiaan dan kebangsaan. Dalam beberapa aspek
hegemoni ideologi globalisasi seperti halnya teknologi informasi menjadi
kendali dan tuan dalam ranah kehidupan sosial kita yang mampu mendorong
berbagai bentuk perubahan pada tatanan sosial dan peradaban manusia, hal ini
oleh Alfin Tofler (1980) dalam Deni (2009;49) disebutkan sebagai bentuk
gelombang ketiga dari perkembangan dan perubahan peradaban manusia, setelah peradaban
pertanian dan industri. Berkat kecanggihan teknologi yang mampu mempersempit
jarak spasial antara ruang dan waktu, mengakibatkan proses pembentukan tatanan
budaya dan nilai-nilai baru, terutama bagi negara-negara berkembang yang
berimplikasi pada ditinggalkan dan dilupakannya nilai-nilai dan tradisi lokal
yang kaya akan muatan moral dan etika dalam hidup berbangsa. Singkat kata
meleburnya batas-batas moralitas dan imoralitas dan mana yang baik serta mana
yang buruk dalam satu atap.
Output pada abad 21 ini menjadi cerminan akan besarnya pengaruh
(eksistensi) globalisasi bagi seluruh lapisan manusia, hal ini tidaklah
mengherankan apabila pemanjaan masing-masing pribadi sebagai sebuah kebutuhan,
alhasil dapat dicermati dengan rendahnya nilai-nilai karakter yang terpatri
pada diri setiap insan, apalagi sebagai seorang muslim, yang seharusnya menjadi
tokoh terdepan dalam memperbaiki moral bangsa ini. Keadaan seperti ini menjadi PR
besar bagi mahasiswa untuk segera diperbaiki sebagaimana amanah yang
diembannya dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi pada poin ke tiga, berupa pengabdian
kepada masyrakat. Artinya, ilmu yang telah diperolehnya haruslah membawa
kemaslahatan bagi yang lain terutama masyarakat sebagai titik tolak dalam
pengamalan ilmu pengetahuan dengan dibantu teknologi caggih seperti yang ada
pada masa kini.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional.
Pasal I UU SISDIKNAS tahun 2003 menyatakan bahwa diantara tujuan pendidikan nasional
adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,
kepribadian, dan akhlak mulia. Hal semacam ini juga ditegaskan oleh Martin
dalam Jamal (2011;29) bahwa Intelligence plus character, that is the goal of
true education (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan
yang sebenarnya). Hasil penelitian di Havard University, Amerika Serikat
menyatakan bahwa kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill), tetapi oleh kemampuan
mengelola diri dan orang lain (soft skill) dengan prosentase 20% oleh hard
skill dan sisanya 80% oleh soft skill. Lalu kemudian pada taraf usia
13 tahun ke atas, pola penanaman karakter seseorang dibangun atas pentingnya
bermasyarakat yang menjadi simbol kesediaan untuk bersosialisasi dan bersinergi
dengan orang lain, lalu melalui cara bergaul dengan teman yang disiplin,
kreatif, moralis, investatif, menghargai waktu dan mencintai pengetahuan
merupakan syarat akan terciptanya karakter hebat. Solikhin (2009;54)
sebagaimana dikutip oleh Jamal menyatakan bahwa keterampilan sosial merupakan aset
sukses kepemimpina dan mempengaruhi orang lain (kemampuan menebar pengaruh,
berkomunikasi, memimpin, katalisator perubahan, mengelola konflik,
mendayagunakan jaringan, kolaborasi dan kooperasi serta kerja tim. (2011;95)
Jikalau karakter yang diharapkan pada ranah mahasiswa adalah
pembentukan intelektualnya dalam hal ilmu pengetahuan, adalah kebutuhan primer
untuk diperhatikan dan dijalankan demi pengembangan sekaligus perbaikan bagi
sebuah ilmu pengetahuan. Melihat fenomena yang ada, krisisnya literasi dikalangan
mahasiswa adalah perihal yang mulai terbius dengan perhiasan zaman sekarang,
bagaimana mungkin kemakmuran akan tercapai, ketentraman akan terwujudkan, dan
bahkan keadilan akan ditegakkan apabila melihat mahasiswa yang mulai
meninggalkan kegemarannya untuk bermesraan dengan buku (literasi). Untuk itu,
perlu diperhatikan beberapa hal sebagai pemicu untuk bangkitnya budaya literasi
bagi mahasiswa, yakni:
a.
Iklim pergaulan
Individu yang menginjak usia 18 tahun sampai usia 40 tahun termasuk
kedalam periode dewasa awal. Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian
diri terhadap pola-pola kehidupan baru mulai dari segi fisik hingga segi
psikis. Adapun optimalisasi
perkembangan dewasa awal mengacu pada tugas-tugas perkembangan dewasa awal
menurut R.J. Havighurst (1953), telah mengemukakan rumusan tugas-tugas
perkembangan dalam masa dewasa awal sebagai berikut: memilih teman bergaul (sebagai calon suami
atau istri), belajar hidup bersama dengan suami istri, mulai hidup dalam
keluarga atau hidup berkeluarga, mengelolah rumah tangga, mulai bekerja dalam
suatu jabatan, mulai bertangungjawab sebagai warga negara secara layak. dalam kelompok teori lingkungan
(atau teori milieu) termasuk teori belajar dan teori sosialisasi yang bersifat
sosiologis, kedua macam teori itu sebetulnya sama karena
prinsip sosialisasi itu merupakan suatu bentuk belajar sosial. Hal ini juga
berlaku bagi enkulturasi, yaitu memperoleh tingkah
laku kebudayaan sendiri, yang banyak ditulis oleh ahli antropolog budaya. Teori ini berpendapat bahwa lebih mementingkan
pengaruh lingkungan terhadap perkembangan anak termasuk teori-teori belajar dan
teori-teori mengenai sosialisasi yang bersifat sosiologis. Tokoh utama teori
ini adalah Urie Brofenbrenner, mengatakan bahwa konteks dimana berlangsung
perkembangan individu, baik kognitifnya, sosioemosional, kafasitas dan
karakteristik motivasional, maupun partisipasi aktifnya, merupakan unsur-unsur
penting bagi perubahan perkembangan. Urie Brofernbrenner
membagi teori lingkungan menjadi empat kondisi lingkungan yaitu:
1.
Mikrosistem ialah menunjukkan dimana individu hidup dan saling
berhubungan dengan orang lain misalanya Keluarga, teman sebaya, sekolah, dan
lain-lain.
2.
Mesosistem ialah menunjukkan hubungan antara dua atau lebih
mikrosistem, misalnya rumah dengan sekolah, rumah dengan masjid, sekolah dengan
lingkungan, rumah dengan tempat kerja.
3.
Ekosistem ialah terdiri dari setting sosial dimana individu yang tidak
berpartisipasi aktif, tetapi keputusan penting diambil berdampak terhadap
orang-orang yang berhubungan langsung denganya, misalnya tempat kerja orang
tua, dewan sekolah, pemerintah lokal, kelompok orang tua, teman sebaya.
4.
Makrosistem ialah pembentukan sosial dan kebudayaan untuk menjelaskan
dan mengorganisir institusi kehidupan. Misalnya, Asumsi ideologi, sistem
kepercayaan bersama tentang umat manusia, hubungan sosial dan kualitas hidup.
Kemudian
jika kita menilik dalam kajian psikologi Islam, pergaulan terlebih dengan teman
sebaya mempunyai peranan penting dalam membentuk karakter setiap individu,
sebagaimana dalam konsepsi Islam (Al-Hadits) berupa:
Dari Abu Musa r.a., dia berkata, Rasulullah Saw bersabda. “Perumpamaan
sahabat yang baik dan sahabat yang buruk ibarat perumpamaan penjual minyak
wangi (misik) dan penempa besi. Engkau akan terkena wanginya dari penjual
minyak wangi, baik engkau membelinya maupun sekedar mendapati aromanya.
Sementara itu, penempa besi akan membakar badanmu atau pakaianmu atau engkau
akan terkena bau tidak sedap.” (HR.Al-Bhukari, 2101/Jawami’ul Kalim, 1969).
Jadi,
dapat dipahami bersama bahwasanya iklim pergaulan merupakan hal mendasar yang
harus diperhatikan dari asal mula sebagai bentuk penanaman karakter secara
bertahap, terlebih dalam menciptakan lingkungan membaca yang diharapkan agar
kenyamanan dapat dinikmati ketika membedah cakrawala khasanah keilmuan yang
terdapat didalam sebuah buku. Menciptakan iklim pergaulan yang dinamis
sebagaimana kebutuhan mahasiswa dengan berbagai macam kegiatan mendukung pada
pola peningkatan pencarian ilmu melalui diskusi, seminar, loka karya, bedah
buku, dan pertemuan lainnya sebagai bentuk kecintaan dan kebutuhan mendesak
dikalangan mahasiswa.
b.
Koleksi buku.
Seseorang
rela melakukan apapun demi tujuan yang ingin dicapainya, dengan melalui
berbagai cara pendekatan dan metode untuk meraihnya, begitu pun dalam ranah
suatu teori pengetahuan, mempunyai sistematika pembahasan atau metodologi
sebagai jalannya, hal ini menjadi landasan dalam menentuan sebuah keputusan
akhir dari hasil penelitian maupun pertanyaan yang dimunculkan. Ketika
dikaitkan dengan kegiatan mahasiswa, tak lepas dari ketersediaan buku yang dikoleksi,
artinya semakin banyak buku maka semakin luas pula pengetahuan dan keterampilannya.
Maka perlu kiranya dalam mencapai budaya literasi didasarkan atas kepemilikan
buku-buku yang disukai, dibutuhkan, dan dapat dijadikan sumber referensi sesuai
dengan jurusan masing-masing mahasiswa.
c.
Aplikasi ilmu
Manusia mempunyai panca indra dengan
peranan masing-masing yang berbeda untuk mendukung jalannya kehidupan, maka
amatlah disayangkan apabila salah satu atau beberapa aspek tidak dimaksimalkan.
Sebuah adagium mengatakan bahwa ilmu yang tidak diaplikasikan (disebarluaskan)
pada diri seseorang ibarat lebah yang tidak bermadu. Artinya sia-sialah dari
ilmu yang diperolehnya, hanya bermanfaat pada diri sendiri namun tidak
memberikan manfaat bagi orang lain dan sekitarnya ketika hal ini menjadi puncak
kebaikan dari ilmu pengetahuan.
Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Saw. Bersabda, “siapa
yang ditanya tentang pengetahuan yang dia ketahui kemudian dia
menyembunyikannya maka kelak pada hari kiamat dia akan dikekang dengan api
neraka” (HR.Tirmidzi, 2649).
Dari Anas dari Rasulullah Saw. Beliau bersabda. “Permudahkanlah dan
jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan jadikan mereka takut”
(HR.Al-Bukhari, 69).
Efek dari pengaplikasian suatu ilmu
pengetahuan adalah semakin kuatnya daya ingat dan pemahaman terhadapnya, memperkaya
wawasan, dan menumbuhkan rasa ingin tahu semakin mendalam.
Adapaun pesan moral dari sakaratul maut literasi mahasiswa adalah
jangan sampai terputusnya suatu ilmu dan meninggalkan generasi berikutnya
menjadi manusia lemah dan tak mempunyai daya saing dalam literasi. Ciptakan
lingkungan dan jadikanlah literasi sebagai bahan pokok dalam mengisi arus
kehidupan.
Referensi
Asmani, Jamal Ma’mur. 2011. Buku Panduan Internalisasi
Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: DIVA Press
Hamid, Abdul. 2007. Problem dan Solusi Kaderisasi: Halaqah
Menjawab Masalah. Solo: Dar Ad-Da’wah
Hidayat, Wiji dan Sri Purnami. 2008. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta:
Teras
Al-Asy’ari, Deni. 2009. Selamatkan Muhammadiyah: Agenda Mendesak
Warga Muhammadiyah. Yogyakarta: Kibar Press
Hosnan, Teori-Teori
Perkembangan, http://www.academia.edu/8145059/Teori-teori-perkembangan2014.ppt,
diakses 10 Maret 2016, pukul 08:32 WIB
Banyak typo mas heri
BalasHapusiyo iki he
Hapusmasih amatiran, he