Dr. Ahmad Arifi
Cet-2, elsaq press, yogyakarta
A.
Kesimpulan
Setelah mengurai bab demi bab dan menganalisanya, penelitian ini
telah menjawab tiga permasalahan pokok yang dirumuskan tentang pergulatan
pemikiran fiqih dalam NU. Pokok-pokok pikiran dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Pergulatan pemikiran fiwih dalam NU terjadi bersumber dari
konsekuensi pola bermadzhab yang dianut oleh NU. Pola bermadzhab dalam fiqih
yang mengikuti salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali)
dan pada praktiknya hanya memilih madzhab Syafi’I menjadikan fiqih NU menjadi
sempit dan tidak dinamis, apalagi dengan pola bermadzhab secara qauly (tekstual).
Dari sini kemudian muncul beberapa persoalan mendasar yang diperdebatkan
berkenaan dengan: (a) aspek referensial (maraji’) yakni kitab-kitab
fiqih madzhab yang sangat terbatas pada kutub al-mu’tabarah dengan
kriteria yang tidak jelas; (b) aspek metode istinbath (metodologi hukum) yang
dominan manhaj qauly yang menyebabkan stagnasi dan tidak kreatif,
sehingga ijtihad kurang (bahkan) tidak diapresiasi dalam forum dan lembaga
Bahtsul Masail NU; (c) terjadinya “sikap pasrah” dengan me-mauquf-kan
masalah-masalah yang tidak bisa dijawab dengan manhaj qauly, sehingga
terjad kekosongan hukum.
Seikap ulama NU terhadap kitab-kitab fiqh madzhab (al-kutub
al-madzhab) yang menjadi jantungnya fiqh “tradisi” NU sebagai al-turats
al-qadim (warisan “tradisi” klasik), terekspresikan dalam berbagai
pandangan dan pemahaman. Pertama, kelompok yang memandang al-kutub
al-madzahib sebagai satu-satunya referensi atau sebagai sumber fiqih NU (mashadir
al-ahkani) ketika merespon berbagai persoalan hukum. Menurut kelompok ini,
menjadikan al-kutub al-madzahib sebagai acuan adalah sesuatu yang
mutlak, karena di dalam al-kutub al-madzahib telah tersedia jawaban yang
lengkap atas berbagai masalah hukum, yang kesemuanya masih relevan untuk
diterapkan dalam konteks zaman sekarang. Mereka cukup mengambil pendapat (qaul)
dari salah satu pendapat madzhab empat yang diakui oleh NU (Hanafi, Maliki,
Syafi’I dan Hanbali) secara apa adanya (tekstual).meskipun pada kenyataannya,
mereka lebih condong kepada madzhab Syafi’iyah. Dalam memegangi madzhab
cenderung kepada bentuk-bentuk “pen-Taqdis-an”, yakni menjadikan
pemikiran madzhab (Syafi’iyah) sebagai sesuatu yang harus diikuti dan tidak
boleh keluar darinya, akibatnya, hal ini melahirkan pola berpikir yang
formalistic dan mengacu pada aspek tekstualitas qauly.
Kedua, kelompok yang memposisikan al-kutub
al-madzahib sebagai sumber fiqih NU dengan sikap yang kritis. Sikap yang
kedua ini dalam merespon dan memberikan solusi atas berbgai ersoalan hukun,
tetap mengacu pada al-kutub al-madzahib manakala pendapat hukum yang
telah ada masih relevan dengan konteks sosial masa kini dan mengandung maslahat
bagi masyarakat. Yang perlu ditempuh adalah melakukan kontekstualisasi atas al-kutub
al-madzahib dengan mengacu pada kemaslahatan sebagai tujuan hukum dan
dukungan qawa’id al-fiqhiyyah yang relevan. Pada sikap kedua ini, Nampak
adanya upaya dinamisasi terhadap fiqh “tradisi” pola madzhab. Representasi dari
sikap yang kedua ini dikembangkan oleh kiai Sahal Mahfudh dan komunitas Ma’had
Aly Situbondo.
Ketiga, yakni sebagian kelompok kecil ulama
NU memposisikan al-kutub al-madzahib hanya sebatas kekayaan khazanah
fiqih Islam karya ulama masa lalu yang tidak harus menjadi referensi utama bagi
solusi hukum, karena kitab fiqih madzhab tersebut hanya sebagai hasil ijtihad
ulama masa lalu yang memiliki konteksnya sendiri. Yang lebih penting adalah
mengembalikan persoalan hukum pada sumber asalnya (Al-Quran dan Hadits) serta
menjadikan al-maslahat sebagai landasan utama bagi hukum. Maslahat
inilah yang merupakan tujuan hukum (maqasid al-syari’ah) yang harus
selalu dijaga dan diwujudkan sepanjang zaman. Manakala dalam fiqih madzhab
memang masih ada yang relevan dan mengandung maslahat bagi kita, maka tidak ada
salahnya menggunakannya untuk konteks masyarakat sekarang. Akan tetapi hal itu
bukanlah keharusan untuk mengikutinya, bahkan bila perlu direkonstruksi
pemikiran-pemikiran dalam fiqih madzhab yang memang telah kehilangan konteks
sosial-historianya. Justru kita perlu memunculkan pemikiran-pemikiran baru yang
sesuai dengan konteks sosial dan kepentingan kita di zaman sekarang ini dengan
cara berijtihad, baik secara sendiri maupun kolektif.
Dari pergulatan ulama NU tentang paradigm fiqih “tradisi” pada
madzhab dalam NU, maka selama kurun waktu 1990-an sampai sekarang terungkap
tiga corak nalar fiiqih yang berkembang dan dibangun oleh ulama NU, baik secara
perseorangan maupun secara kolektif. Dilihat dari tipologi dan karakteristik
paradigmanya (berdasarkan basis ontology, epistemology, dan metodologi), maka
fiqih “tradisi” NU mewujud dalam tiga nalar fiqih, yaitu:
a.
Nalar fiqih formalistic-tekstual
Pemikiran fiqih
NU yang mengacu pada kerangka formal metodologi fiqih madzhab, dalam hal ini
Syafi’iyah khususnya. Solusi atas problematika fiqih yang muncul di tengah masyarakat
didasarkan pada teks-teks kitab-kitab fiqih madzhab (al-kutub al-madzahib) yang dibatasi
pada kitab-kitab fiqih yang diakui (al-kutub al-mu’tabarah), terutama
kitab-kitab fiqih madzhab Syafi’iyah yag biasa dipakai oleh para ulama NU dalam
forum Bahtsul Masail.
Pertanggungjawaban
dalam setip pengambilan keputusan hukum didasarkan kepada rujukan teks
kitab-kitab fiqih madzhab (Syafi’iyah). Hasil Bahtsul Masail yang dilakukan
dalam forum Bathsul Masail NU hanya bersifat meregulasi dan mengulang keputusan-keputusan
dari apa yang sudah ditetapkan dalam kitab fiqih madzhab. Dengan kata lain,
produk fiqih nalar formalistic ini merupakan duplikasi fiqih madzhab, sehingga
yang terjadi adalah bermadzhab secara qauli.
Pemikiran fiqih
dalam NU yang mengikuti tipe ini adalah pemikiran mayoritas ulama NU yang
terapresiasikan melalui Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU dengan keputusan
Bathsul Masail yang mengikuti pola bermadzhab qauli, dan hasil-hasil
Bathsul Masail di forum-forum Bathsul Masail di pesantren-pesantren.
b.
Nalar fiqih sosial-kontekstual
Pemikiran fiqih
yang dalam kajian fiqihnya mengacu pada konteks sosial dan sejarah. Fiqih
dipahami sebagai konstruksi sosial yang dibuat oleh ulama berdasarkan fakta dan
realitas emprik sosialnya, dimana pemikiran fiqih sangat dipengaruhi oleh
konteks masyarakat (man/community), waktu (time), ruang dan
tempat (space). Oleh sebab itu untuk memberikan solusi atas problematika
fiqih yang muncul sekarang adalah harus dilihat dalam konteks ke-kinian,
ke-disinian, dan ke-indonesiaan, disamping konteks masa lalu. Kitab-kitab fiqh
madzhab, dalam hal ini bisa dijadikan referensi jika dipandang masih relevan
beberapa keputusan hukumnya, akan tetapi harus dikontekstualisasikan dengan
situasi dan kondisi masyarakat sekarang ini. Yang harus diperhatikan adalah
menyesuaikan fiqih madzhab dengan konteks sosial dan memenuhi kemaslahatan
masyarakat kita. Jika memang sudah tidak sesuai lagi, maka kita tidak harus
mengikutinya. Artinya, kita perlu melakukan “ijtihad” sendiri dengan tetap memperhatikan
metodologi madzhab, sehingga tidak meninggalkan sama sekali fiqig madzhab.
Dalam hal ini perlu mengembangkan pola bermadzhab secara manhaji.
Pemikiran fiqih dalam NU yang menggunakan paradigm ini adalah K.H. Sahal
Mahfudh, K.H. Ali Yafie dan komunitas Santri Ma’had Ali Situbondo.
c.
Nalar fiqih kritis-emansipatoris
Pemikiran fiqih
NU yang dalam kajian fiqihnya mengacu pada tujuan hukum (maqasihid
al-syari’ah), yakni al-maslahat sebagai realisai kemaslahatan
manusia. oleh karena itu, setiap pengambilan kesimpulan hukum (istinbath)
harus didasarkan dan mengacu pada kemaslahatan yag bermuara pada maslahat pokok
yang lima (hifdh al-khmsah), yaitu hifdh al-din (menjaga agama),
hifdh al-nafs (menjaga jiwa), hifdh al-‘aql (menjaga akal), hifdh
al-mal (menjaga harta), dan hifdh al-nasl (menjada
keturunan). Dalam konteks bermadzhab, nalar fiqih ini tidak lagi mengikuti
fiqih madzhab (liberal), karena kitab-kitab fiqih madzhab diperlakukan sekedar
menjadi wacana pembanding yang perlu dikritisi.
Analisis yang
digunakan adalah analisis kritis-filosofis. Hasil dari pemikiran ini adalah
melahirkan fiqih yang “baru” dan bersifat rekonstruksi. Terbebas dari
“hegemoni” fiqih madzhab. Sedangkan karakteristik fiqihnya adalah substantive,
liberal dan independen (bebas madzhab). Pemikiran fiqih dalam NU yang
menggunakan poa ini adalah Masdar F.Mas’udi.
B.
Refleksi teoritis dan kontribusi
penelitian
Penelitian ini menyumbangkan apa yang penulis sebut sebagai “teori
dinamisme tradisi” yang mengacu pada teori harmoni dialektisme-historis, dimana
nilai-nilai tradisionalitas suatu komunitas (masyarakat) yang memelihara al-turats
(warisan) akan tetap bertahan dan berkembang dinamis dalam suatu situasi
yang selalu berubah (modern) apabila ia mampu: (1) merevitalisasi nilai-nilai
tradisionalitas atas “warisan lama” (al-turats); (2) menyelaraskan
nilai-nilai tradisi dan terbuka terhadap perubahan sebagai watak zaman dan
masyarakat yang melingkupinya; (3) mendialogkan tradisi dan mengakomodir hasil
peradaban (ilmu pengetahuan dan teknologi) masyarakat yang mengacu pada kaidah al-muhafadhah
‘ala al-qadim al-shalih (konservasi) dan al-akhdzu bi al jaded al-ashlah
(inovasi), tanpa harus menghilangkan watak substansi tradisi.
Dalam kasus pemikiran fiqih dalam NU, ragam nalar yang muncul
sebagai akibat pergulatan yang serius terhadap pola bermadzhab yang dianut oleh
kaum nahdliyyin akan selalu saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dan
tidak bisa saling menegasikan salah satunya. Sebagai konsekuensi bermadzhab,
maka nalar formalistic-tekstual hingga saat ini masih mendominasi dalam
pemikiran fiqih NU, baik secara individual maupun kolektif, akan tetapi suatu
saat nalat yang lain, seperti nalar fiqih nalar sosial-kontekstual atau bahkan
nalar fiqih kritis bisa mendominasi dalam pemikiran fiqih NU jika situasi
interlnal NU berubah mindset (paradigm berpikirnya) para intelektual
yang terlibat dalam forum Bathsul Masail dan mendominasi lingkungan pesantren.
Penelitian ini juga merekomendasikan untuk mengembangkan penelitian
dengan menggunakan paradigm keilmuan integrasi-interkoneksi atau pendekatan
interdisipliner. Khusus dalam bidang pemikiran islam, pendekatan sejarah dan
antropologi dengan kerangka analisis paradigma perlu dikembangkan. Dengan
pendekatan sejarah akan diketahui alur perkembangan da nasal-usul dari sebuah
pemikiran. Pendekatan antropologis mengarahkan kita untuk menyelami dan
memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam suatu kelompok masyarakat dengan
faktor-faktor internal yang membentuknya. Sedangkan analisis paradigma sangat
berguna untuk mengungkap sebuah kontruksi pemikiran secara utuh, dari aspek
ontology, epistemology, dan metodologinya. Dengan demikian suatu penelitian
memiliki daya validitas, aksestabilitas, dan akuntabilitas yang tinggi.
Dua hal sebagai catatan kritis penulis dari penelitian ini adalag
bahwa (1) sikap status quo yang berlebihan (statisme) dari penganut pola
tradisionalisme justru kontra produktif bagi perkembangan peradaban, sehingga
nilai-nilai tradisi dari al-turats semakin dijauhi atau ditinggalkan
oleh generasi mendatang karena tidak memenuhi harapan masyarakat. (2) sikap
pengingkaran terhadap tradisi (liberalism) yang berlebihan dari penganut pola
tradisi dan masyarakat yang menolak traidisi denga menafikan nilai-nilai
tradisi menyebabkan sikap “ketidakjujuran akademik”, yakni pengingkaran
terhadap sebuah ‘karya’ atau ‘prestasi’ dari peradaban masyarakat, padahal
tradisi adalah sebuah realitas historis.
Oleh sebab itu, sikap yang bijaksana adalah bagaimana menerima
eksistensi sebuah tradisi (pemikiran), namun juga tidak larut dalam pro dan
kontra terhadap totalisme, dan fanatisme tradisi. Disinilah sebenarnya arus
penelitian ini bermuara. Wallahu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan