, , ,

Raja'

 

ilustrasi burung: amril amrulah / haji.okezone.com

Ibarat jasad tanpa ruh, sesosok tubuh tidak akan lagi dikatakan sebagai manusia, maka begitulah dengan sikap raja’, hidup terasa hambar bilamana tidak diiringi dengan raja’

Lalu, apakah yang dimaksud raja’ ?

Raja’ atau harapan, dapat diartikan dengan memperhatikan segala jenis kebaikan dan berharap dapat mencapainya, melihat berbagai bentuk kelembutan dan nikmat dari Allah Swt., dan memenuhi diri dengan harapan masa depan, serta menjalani hidup demi meraih harapan tersebut.  Para sufi secara khusus mendefiniskan raja’ dengan pernyataan keterkaitan hati dengan sesuatu yang disukai, yang akan dicapai di masa mendatang.” Berdasarkan definisi tadi, maka raja’ diartikan sebagai penantian akan datangnya berbagai kebaikan, dan sekaligus berharap untuk diampuni oleh-Nya atas perbuatan tidak baik yang telah dilakukan melalui dimensi taubat.

Labih lanjut, raja’ yang disandarkan atas dasar ketabahan seseorang untuk menghadapi perbuatan buruk yang dilakukannya, dan agar pengembalian segala kebaikan ditujukkan kepada Allah Swt., adalah raja’ yang menghalangi salik (pesuluk) dari keterperosokan dalam perangkap kesalahan, dosa, dan berbagai yang tidak patut dilakukan. Selain itu, raja juga dapat menghalangi seseorang dari ketertipuan terhadap kebaikan yang telah dilakukannya.

Itulah sebabnya, seseorang yang memiliki sifat raja akan selalu mengembara di segenap cakrawala kehidupan, “perjalanan menuju Allah Swt” (as-sair ilallah). Demi melarikan diri dari segala bentuk kejahatan dan demi melakukan segala bentuk kebaikan, dengan menggunakan dua sayap berupa istighfar dan doa, serta senantiasa mengetuk pintu rahmat Allah Swt., menggunakan lisan inabah dan ketundukan dalam “perjalanan bersama Allah Swt” (as-sair ma’amallah). Ketika seorang salik (pesuluk) berhasil menegakkan keseimbangan ini, maka ia pasti tidak akan putus dari rasa khauf, sebagaimana ia juga tidak akan bersikap lembek ataupun berlebihan dalam raja’.

Yah, dengan menunggu pertolongan Allah Swt., melarikan diri dari segala bentuk dosa, selalu berusaha dijalan kebaikan (sebagai peserta perlombaan disitu), kemudian tawajuh ke pintu yang luhur Sang Ilahi, untuk menunggu rahmat-Nya, merupakan raja’ yang benar. Itulah ufuk harapan orang-orang yang shadiq.

Sebaliknya, menunggu pahala dan ampunan tanpa amal, atau menghabiskan umur dalam jurang kesesatan dan sibuk membicarkan tentang keindahan surga, seperti orang yang memaksa Allah Swt., hasya lillah– untuk memberi apa yang diharapkan, maka itu adalah raja’ yang salah, dan merupakan bentuk sikap meremehkan rahmat Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Demikianlah raja’, sama sekali bukan angan-angan kosong (at-tamanni), karena angan-angan kosong itu membayangkan sesuatu yang tidak jelas, bahkan disebut pula sebagai mimpi hampa tanpa harapan nyata di dalamnya. Sementara raja’, mengerahkan segenap kekuatan menuju gerbang perlindungan Allah Swt., dengan menggunakan segala jalan yang dapat menghantarkan kepada tujuan, melalui mata batin dan perasaan yang diterangi oleh cahaya kenabian, demi memohon turunnya kucuran rahmat dari Allah Swt.

 

Sumber rujukan:

Gulen, Muhammad Fethullah. 2014. Tasawuf Untuk Kita Semua. Jakarta: Republika Penerbit


0 komentar:

Posting Komentar

Silakan