A.
Biografi
Muhammad Abduh[1]
Syekh M. Abduh termasuk keluarga petani sedang, yang
memiliki 40 feddan (bahu). Ayahnya bernama Abduh Chairullah, penduduk kampung
Nasr, daerah Subrakhit, dari provinsi Buhairah (Mesir bawah). Karena tindasan-tindasan
penguasa negerinya, ia (ayahnya) meninggalkan kampung halamannya untuk mennuju
provinsi Gharbiah, dan disana ia kawin dengan Junaimah seorang wanita
terpandang dikalangan familinya, sebagaimana dengan Abduh Chairullah sendiri
juga seorang yang terpandang. Dari Junainah tersebut lahirlah seorang anak
laki-laki pada tahun 1849, dan diberinya nama Muhammad (Abduh).
Setelah selesai menghafal Quran, maka pada tahun 1862
M ia dikirim ke kota Tanta, untuk belajar ilimu-imu ke-Islaman di sana, tetapi
pelajarannya tidak berlangsung lama. Karena anjuran pamannya ia mau kembali ke
Tanta pada tahun 1865 M. dan pada tahun berikutnya, ia pergi ke Kairo dan terus
menuju ke masjid al-Azhar, untuk hidup sebagai seorang sufi. Akan tetapi
kemudina kehidupan ini ditinggalkan, karena anjuran pamannya itu pula.
Pada tahun 1872 M. Syekh M. Abduh berhubungan dengan Jamaluddin
al-Afghani, untuk kemudian menjadi muridnya yang setia. Karena pengaruh gurunya
tersebut, ia terjun kelapangan persurat-kabaran pada tahun 1876. Setelah
menamatkan pelajaran di al-Azhar, dengan mendapat ijazah Alimiyah ia diangkat
menjadi guru di Darul ‘Ulum. Akan tetapi karena sebab-sebab yang tidak
diketahuinya, ia dibebaskan dari jabatannya itu dan dikirim ke kampung
halamannya, sedang Jamaluddin sendiri diusir dari Mesir. Pada tahun 1880 M, Syekh
M. Abduh dipangil oleh kabinet partai liberal (bebas-Ahrar) untuk diserahi
jabatan kepala redaksi surat kabar “al-Waqai’ul-Misriyah” dan karena
pimpinannya yang baik dalam surat kabar tersebut ia menjadi buah tutur kata
banyak orang.
Pemberontakan Irabi Pasya di Mesir telah mengakhiri
kegiatan Syekh M. Abduh, karena pada akhir tahun 1882 M ia diusir dari Mesir
(di-externir). Karena itu ia pergi pertama-tama ke Beirut kemudian pada awal
tahun 1884 pergi ke Perancis dan disana ia bertemu lagi dengan Jamaluddin
al-Afghani. Kedua tokoh ini kemudian mendirikan suatu perhimpunan yang kuat dan
menerbitkan majalah bulanan dengan nama yang sama.
Atas nama perhimpunan tersebut, pada tahun 1884 M, ia
pergi ke London dengan maksud untuk mengetahui niat sebenarnya dari orang-orang
yang bertanggungjawab di London, tentang pendudukan tentara Inggris di Mesir,
disana ia menjadi tamu temannya yang karib, yaitu seorang Inggris bernama Blunt
(Wilfrid Cawan, 1840-1922 M)
Dalam percakapannya dengan beberapa anggota parlemen Inggris
dan dengan Lord Hartington, menteri peperangan Inggris pada waktu itu (hidup
1838-1908 M), ia dianggap sebagai tokoh revolusi Mesir, dan Syekh M. Abduh
menyatakan dengan tegas keinginan rakyat Mesir akan kepergian tentara Inggris
dari negerinya. Keinginan tersebut juga dikemukakannya kepada wakil-wakil
surat-surat kabar di inggris, antara lain Times, Truth dan Pall Mall Gazette.
Setelah selesai berkunjung ke London ia kembali lagi
ke Paris, kemudian pergi ke Tunis, dan disini ia mempropagandakan
perhimpunannya itu, tetapi dengan tiba-tiba ia mengakhiri kegiatannya itu,
untuk pergi ke Beirut pada awal tahun 1885 dan menetap disana. Di Beirut
kegiatannya dialihkan kepada bidang pendidikan, dan ia mulai mengajar serta
mendalami ilmu-ilmu ke-Islaman dan ke-Araban. Diantara hasilnya ialah buku “ar-Raddu ‘alad
Dhariyyin” (bantahan terhadap orang-orang materialist) pada tahun 1886,
terjemahan dari buku berbahasa Persi karangan Jamaluddin al-Afghani, dan buku
“Syahrul Balaghah” pada tahun 1885, kemudian “Syarah Maqamat Badi’ as Zaman
al-Hamazani” pada tahun 1889 M.
Ketika sudah diperbolehkan kembali ke Mesir pada tahum
1889, ia terus pergi ke kairo. Kemudian ia segera diangkat menjadi hakim pada Pengadilan
Negeri di kota Banha (ibu kota provinsi Qayubiah), kemudian lagi pindah ke
Pengadilan Negeri Abidin (dalam kota Kairo). Dua tahun kemudian ia diangkat
menjadi hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (pengadilan Banding-Mahkamah al
Isti’anaf-Cour d’Appel). Diantara hasil pekerjaannya dalam lapangan pengadilan
ialah usul-usulnya tentang perbaikan Pengadilan Agama (al-Mahkamah
as-Syari’ah), yang dimuatkannya dalam bukunya “Taqrir fi Ishlahil Mahakimis
Syari’ah”
Pada tahun 1899 M ia memangku jabatan keagamaan yang
tertinggi di mesir, yaitu “Mufti” dan jabatan ini dipangkunya terus sampai
wafatnya (tahun 1905 M). Pada tahun itu juga (1899) ia menjadi anggota Dewan
Perundang-undangan Parlemen yang merupakan fase permulaan kehdupan Parlementer
di Mesir. Pada tahun 1894 ia menjadi anggota pimpinan tertiggi al-Azhar
(Conseil Superieur) yang dibentuk berdasarkan anjurannya, dan disini (al-Azhar)
selain mengadakan pembaharuan-pembaharuan juga ia sendiri aktif memberikan pelajaran
Pada musim panas tahun 1903 M ia pergi lagi ke Inggris. Kali ini bukan
maksud-maksud politik, melainkan rupanya khusus untuk mengadakan tukar pikiran
dengan filosof Inggris yang terkenal, yaitu Herbert Spencer (1820-1903).
B.
Karya-karya
Muhammad Abduh
Ditengah-tengah kesibukannya sebagaimana yang disebutkan
diatas, ia sempat menerbitkan buku-buku karangannya, yaitu: Risalatut-Tauhid,
tahun 1897 M; Al-Islam wa Nasranilah ma’al ‘ilmi wal Madaniyyati, tahun 1902 M;
Ulasan (syarah) buku “al-Bashairun Nasiriah”, karangan al-Qadhi Zainuddin,
tahun 1898 M. Dalam pada itu, ia tidak dapat menyelesaikan tafsirnya yang telah
mendapat perhatiannya yang khusus dimana hanya sebagiannya saja yang dapat
terbit pada masa hidupnya. Tafsir tersebut kemudian diperiksa kembali dan
diselesaikan oleh kawan dan murid-muridnya juga, yaitu Syekh Muhammad Rasyid
Ridha, dan dimuat pertama-tama dalam majalah Al-Manar, yang merupakan organ
utama untuk memancarkan pikiran-pikirannya. Majalah ini diterbitkan sejak tahun
1897 M dibawah pimpinan Syekh M. Rasyid Ridha juga. Selain itu, untuk mengenangkan
jasa gurunya, ia banyak menerbitkan buku-buku yang dikarang oleh Syekh M. Abduh.
C.
Pemikiran-pemikiran
Muhammad Abduh
1.
Kedudukan
akal dan fungsi wahyu[2]. Menurut
Muhammad Abduh, akal dapat mengetahui beberapa hal berikut, yaitu: a) Tuhan dan
sifat-sifatnya; b) Keberadaan hidup di akhirat; c) Kebahagiaan jiwa di akhirat
bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan
kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan
perbuatan jahat; d) Kewajiban manusia mengenal Tuhan; e) Kewajiban manusia
untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat; f)
Hukum-hukum mengenai kewajiban itu
2.
Kebebasan
manusia. Menurut Abduh, sifat dasar alami yang diberikan oleh Allah kepada
manusia adalah kebebasan memilih. Jika sifat dasar ini dihilangkan dari
manusia, ia bukan manusia lagi, melainan makhluk lain. Manusia dengan akalnya
mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya. Keudian mengambil
keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya
itu dengan daya yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, menurut hukum alam
atau sunnatullah mansia mempunyai
kebebasan dalam menentukan kemauan dan memiliki daya untuk mewujudkan
kemauannya.
3.
Sifat-sifat
Tuhan. Dalam risalah, ia menyebutkan
sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang
lain? Ia menjelaskan bahwa sifat-sifat Tuhan itu terletak diluar kemampuan manusia.
4.
Kehendak
mutal Tuhan. Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat
bahwa kehendak Allah tidak bersifat mutlak karena Allah sendiri membatasi
kehendak mutlak-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan kepada manusia
dalam mewujudkan perbuaan-perbuatannya. Dengan ungkapan lain, kehendak mutlak
Allah dibatasi oleh sunnatullah yang
telah ditetapkan-Nya.
5.
Keadilan
Tuhan. Menurut Muhammad Abduh, alam diciptakan oleh Allah bukan hanya dari segi
kehendak mutlak Allah, melainkan juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia.
Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak
satu pun ciptaan Allah yang tidak membawa manfaat bagi manusia. Inilah salah
satu wujud keadilan Allah. Setiap perbuatan manusia akan dibalas sesuai
kebaikan dan keburukannya. Sifat ketidakadilan tidak dapat diberikan kepada
Allah karena ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam
semesta.
6.
Antrofomorfisme.
Antrofomorfosme adalah pengenaan ciri-ciri manusia pada Allah. Dalam hal ini,
Muhammad Abduh berpendapat, Allah tidak dapat diwujudkan dalam bentuk apapun
sebagaimana yang terekam dalam pikiran manusia. Abduh tidak menerima paham
bahwa Allah mempunyai sifat-sifat jasmani. Kata-kata “tangan, wajah Tuhan, dan
lain-lain” yang terdapat dalam al-Quran itu hanya sebagai permisalan untuk
mempermudah memahami Al-Quran. Hal itu harus dikembalikan ke pengertian yang
diberikan oleh orang Arab.
7.
Melihat
Tuhan. Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnyya, apakah Tuhan yangbersifat
Rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya dihari perhitungan
kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun makhluk yang menyerupai
Tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan
dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada
orang-orang tertentu di akhirat.
8.
Perbuatan
Tuhan. Muhammad Abduh berpendapat tentang perbuatan Tuhan bahwa Tuhan wajib
berbuat yang terbaik untuk manusia.
D.
Kontribusi
Muhammad Abduh terhadap Ummat Islam[3]
Pendapat-pendapat Muhammad Abduh tersebut mempengaruhi
dunia Islam pada umumnya terutama dunia Arab melalui karangan-karangannya,
kemudian dibeberapa bidang beliau berkontribusi dalam: Mendirikan sekolah
Majelis Pengajaran Tinggi. Dengan memasukkan ilmu pengetahuan modern dan dengan
memperkuat pendidikan agama disekolah-sekolah pemerintah, sehingga jurang
memisah golongan ulama dari golongan ahli ilmu modern akan dapat diperkecil; Dalam
bidang ketatanegaraan Muhammad Abduh berpendapat kekasaan negara harus
dibatasi. Menurutnya pemerintah wajib bersikap adil terhadap rakyat, dan
terhadap pemerintah yang serupa ini, rakyat harus patuh dan setia
E.
Keterkaitan
antara Muhammad Abduh dengan Ahmad Dahlan
Pada tahun 1890, Ahmad Dahlan bertemu dengan Muhammad
Rasyid Ridha (Murid Muhammad Abduh) di kota Makkah, kemudian Ahmad Dahlan pun
mempunyai peninggalan koleksi buku yang sebagian besar dipengaruhi oleh ide-ide
pembaharuan sebagaimana buku yang sering dibaca oleh Ahmad Dahlan ialah “Kosalatul Tauhid”, dan “Tafsir Juz Amma”, “Al-Islam
wa-al-Nashraniyah” ( karangan Muhammad Abduh). Hingga dalam memahami agama,
Ahmad Dahlan selalu berpegang pada prinsip;[4] 1)
Memahami ajaran agama Islam itu sumbernya hanya Al-Quran dan Al-Sunnah; 2)
Untuk dapat memahaminya dengan tepat harus menggunakan akal yang sehat sesuai
dengan jiwa Islam. Dan menurut Ahmad Dahlan, ide-ide pembaharuan hanya dapat
dilaksanakan melalui pendidikan. Semua ini selarah dengan metode dan corak
pembaharuan Muhammad Abduh kala itu, dengan berupaya memurnikan ajaran Islam
(purifikasi) dan mengajak umat Islam untuk keluar dari jarring pemikiran
tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan
penjelasan yang dapat diterima oleh Rasio.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan